Liputan6.com, New York - Harga minyak ditutup menguat pada perdagangan Selasa (rabu pagi waktu Jakarta) setelah sebelumnya mengalami gejolak yang cukup dalam. Pelaku pasar sangat berhati-hari dalam bertransaksi pada hari pemungutan suara dalam Pemilihan Presiden di Amerika Serikat (AS).
Mengutip Wall Street Journal, Rabu (9/11/2016), harga minyak mentah berjangka naik 9 sen atau 0,2 persen ke angka US$ 44,98 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan harga minyak Brent yang merupakan patokan harga dunia turun 11 sen atau 0,24 persen ke angka US$ 46,04 per barel.
Harga minyak terus berayun di dua kutub atau terus bergerak di antara keuntungan dan kerugian sepanjang perdagangan Selasa ini. Para pelaku pasar berharap-harap cemas menunggu hasil dari Pilpres AS.
Advertisement
Baca Juga
Mark Waggoner, Presiden Excel Futures, mengatakan bahwa para pelaku pasar banyak menahan aksi beli maupun aksi jual. Pelaku pasar lebih memilih untuk menunggu kepastian dari hasil Pilpres AS untuk mengambil posisi.
"Ini cukup aneh. Perdagangan hari ini cukup tenang. Saya pikir pelaku pasar masih mencoba untuk mencari siapa yang akan menang pada Pilpres AS kali ini," jelas dia.
Di sesi akhir perdagangan, aset-aset yang memiliki risiko cukup tinggi seperti saham dan minyak mulai diburu oleh investor. Hal tersebut membuat Wall Street menguat dan harga minyak terdorong naik.
Hal tersebut terjadi setelah calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton melaju ke depan dalam jajak pendapat. Para investor percaya bahwa kemenangan Clinton akan membawa stabilitas ke pasar keuangan.
Selain masalah Pilpres AS, pelaku pasar juga melihat sentimen lain yaitu kemungkinan dari Organisasi yang menaungi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) bisa menyelesaikan kesepakatan mengenai pembatasan produksi.
Pada September lalu OPEC melakukan pertemuan di Aljazair. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa untuk mengendalikan harga minyak perlu adanya pembatasan produksi.
Mengenai rincian pembatasan setiap negara akan dilakukan pada pertemuan lanjutan yang akan berlangsung pada bulan ini. Sebagian besar pelaku pasar pesimistis bahwa pertemuan kali ini bisa menghasilkan kesepakatan. (Gdn/Ndw)