Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia naik lebih dari 1 persen, terpicu pernyataan FBI jika calon Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat Hillary Clinton tidak akan menghadapi tuduhan atas penggunaan email pribadinya.
Meski, kenaikan ini masih dibatasi penguatan dolar seiring peluang kemenangan Clinton yang kembali besar. Penguatan dolar membuat harga minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Harga minyak juga dipengaruhi keraguan atas pemotongan produksi yang direncanakan OPEC.
Melansir laman Reuters, Selasa (8/11/2016), harga minyak patokan AS West Texas Intermediate (WTI) menetap di posisi US$ 44,89 per barel, naik 82 sen, atau 1,9 persen.
Baca Juga
Advertisement
Sementara minyak mentah Brent berakhir naik 57 sen, atau 1,3 persen, ke posisi US$ 46,15 per barel.
Federal Bureau of Investigation (FBI) mengatakan pada hari Minggu pekan lalu, bahwa tidak akan ada tuntutan terhadap Clinton terkait penggunaan email pribadinya.
Pernyataan ini membuat prospek bagi kandidat Partai Republik Donald Trump kembali redup, ditambah sikapnya terhadap kebijakan luar negeri, perdagangan dan imigrasi yang membuat pasar terkesima.
Namun, menurut David Thompson, Wakil Presiden Eksekutif Powerhouse, sebuah perusahaan broker komoditas khusus energi di Washington, harga minyak tidak mungkin meningkat lebih lanjut terkait politik AS ini.
"Apakah akan ada reli besar setelah Clinton terpilih? Saya tidak begitu yakin," lanjut dia.
Harga WTI berjangka juga naik terdorong penurunan pasokan di hub pengiriman minyak mentah berjangka di Cushing, Oklahoma yang mencapai 442.077 barel, untuk pekan yang berakhir 4 November, menurut pedagang mengutip layanan monitoring energi Genscape.
Namun, analis yang disurvei Reuters memperkirakan jumlah persediaan minyak mentah AS naik 1,1 juta barel pekan lalu setelah mencapai rekor pada minggu sebelumnya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal OPEC Mohaommed Barkindo menegaskan komitmen negara-negara anggotanya terkait kesepakatan untuk memangkas produksi yang dibuat di Aljazair pada akhir September lalu.
Namun banyak analis meragukan kemampuannya untuk mengkoordinasikan pemotongan yang bertujuan menyeimbangkan pasar tersebut.
"Keyakinan pasar bila OPEC dapat mencapai kesepakatan yang kredibel telah runtuh," ujar David Hufton, Managing Director PVM Oil Associates, dalam sebuah catatan.