Sri Mulyani Laporkan Capaian APBN-P 2016 ke Komisi XI DPR

Menkeu Sri Mulyani ‎optimistis pertumbuhan ekonomi nasional di 2016 mencapai sekitar 5 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 18 Jan 2017, 12:55 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2017, 12:55 WIB
Ilustrasi APBN
Ilustrasi APBN

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan realisasi kinerja perekonomian maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sementara kepada Komisi XI DPR.

Sri Mulyani ‎optimistis pertumbuhan ekonomi nasional di 2016 mencapai sekitar 5 persen.

Saat Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR, Sri Mulyani ‎menjelaskan, ekonomi dunia pada tahun lalu masih mengalami tekanan dengan proyeksi pertumbuhan 3,1 persen dari semula yang diprediksi tumbuh 3,8 persen. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia yang rendah ini.

"Pertama, ekonomi di negara-negara besar masih melakukan konsolidasi, pelemahan sisi permintaan komoditas. Kedua, China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia masih rebalancing," jelas dia di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/1/2017).

Faktor ketiga, tambah dia, proses Brexit yang akan dilakukan secara drastis atau bertahap. Karena keputusan ini berpengaruh ke Eropa dan negara lain di dunia.

Terakhir, faktor dari pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang memicu penyesuaian suku bunga The Fed pada Desember 2016 dan akan berlanjut di 2017.

"Pengaruhnya terhadap keinginan investor menanamkan uangnya. Apalagi Jumat ini akan ada pelantikan Presiden terpilih AS sehingga mempengaruhi arah kebijakan di AS," Sri Mulyani menerangkan.

Dia melanjutkan, ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh 5 persen di 2016. Syaratnya, ekonomi di kuartal IV ‎tahun lalu harus tumbuh 4,7 persen sehingga secara keseluruhan ekonomi nasional bertumbuh 5,0 persen atau lebih sedikit.

"Kontribusinya dari konsumsi rumah tangga‎ dan investasi. Pemerintah dapat mengendalikan inflasi yang di 2016 sebesar 3,02 persen atau terendah dalam 1 dekade. Investasi mengalami pemulihan setelah ada kontraksi dari perusahaan-perusahaan yang mengandalkan komoditas," dia menjelaskan.

Dia menambahkan, pemerintah memacu pengeluaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan penundaan atau pemotongan anggaran di 2016, ekonomi bisa bertumbuh lebih tinggi dibanding 2015. "Itu artinya kita selektif melakukan pemotongan, sehingga tidak mengurangi pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Sementara dari sisi nilai tukar rupiah, Sri Mulyani mengaku, terjadi penguatan terhadap dolar Amerika Serikat. Asumsi makronya Rp 13.500 per dolar AS, namun realisasinya Rp 13.307 per dolar AS. Neraca perdagangan 2016 mengalami surplus US$ 8,78 miliar, dan defisit transaksi berjalan lebih rendah.

"Presiden Jokowi minta untuk memperhatikan pergerakan harga supaya tidak menggerus daya beli masyarakat. Terutama yang datang dari harga komoditas yang rentan bergejolak. Jadi waspadai inflasi dan harga di tahun ini," harap dia.

Realisasi APBN-P 2016‎ sementara

Dari keseluruhan, pencapaian pendapatan negara ‎Rp 1.551,8 triliun, realisasi belanja negara Rp 1.859,5 triliun, sehingga defisit anggarannya Rp 307,7 triliun atau 2,46 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sri Mulyani menyebut, capaian pendapatan negara Rp 1.551,8 triliun hanya sebesar 86,9 persen terhadap target APBN-P di 2016 sebesar Rp ‎1.786,2 triliun.

Terdiri dari pendapatan dalam negeri yang mencapai 1.546 triliun atau 86,6 persen dari target Rp 1.784,2 triliun dan penerimaan hibah Rp 5,8 triliun atau 295,2 persen dari target Rp 2 triliun.

Dari penerimaan perpajakan, kata dia, realisasinya 83,4 persen menjadi Rp 1.283,6 triliun. Sementara targetnya di tahun ini Rp 1.539,2 triliun.

Rinciannya penerimaan dari pajak 81,5 persen atau Rp 1.104,9 triliun ‎dari target Rp 1.355,2 triliun, serta penerimaan dari bea cukai Rp 178,7 triliun atau 97,2 persen dari patokan Rp 184 triliun.

‎"Penerimaan pajak tumbuh 4,2 persen, tapi masih lebih rendah Rp 33 triliun dari outlook sebelumnya sebesar Rp 218 triliun. Tax amnesty menyumbang Rp 107 triliun," kata Sri Mulyani.

Sementara untuk pos belanja negara yang terealisasi Rp 1.859,5 triliun atau 89,3 persen dari target yang telah ditetapkan di APBN-P 2016 sebesar Rp 2.082,9 triliun.

Secara lebih rinci, penyerapan belanja pemerintah pusat terealisasi Rp 1.148,5 triliun atau 87,9 persen dari target Rp 1.306,7 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 710,9 triliun atau 91,5 persen dari target Rp 776,3 triliun.

Dari realisasi belanja pemerintah pusat, penyerapan belanja Kementerian/Lembaga 88,3 persen menjadi Rp 677,6 triliun dari target Rp 787,8 triliun dan belanja non Kementerian/Lembaga Rp 471 triliun atau 87,4 persen dari target Rp 538,9 triliun.

Sementara pada pos transfer ke daerah, pencapaiannya 91,9 persen Rp 664,2 triliun atau lebih rendah dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 729,3 triliun, sedangkan dana desa dari target Rp 47 triliun dan realisasinya 99,4 persen menjadi Rp 46,7 persen.

"Kita tidak punya utang lagi ke daerah karena seluruh Dana Alokasi Umum (DAU) yang tertunda di 2016 sudah dibayarkan semua. Ini jadi kepastian bagi daerah, karena daerah akan menggelar Pilkada," jelas dia.

Dengan demikian, realisasi keseimbangan primer defisit Rp 124,9 triliun atau 118,4 persen dari target Rp 105,5 ‎triliun. Sedangkan pencapaian defisit fiskal di APBN-P 2016 sebesar Rp 307,7 triliun atau 2,46 persen terhadap PDB. Realisasinya melebar dari target 2,35 persen dari PDB atau Rp 296,7 triliun.

"Defisit APBN terjaga pada tingkat yang aman karena di outlook setelah penghematan, defisit diperkirakan 2,5 persen terhadap PDB atau Rp 315,7 triliun," ujar Sri Mulyani.

Untuk realisasi pembiayaan defisit anggaran mencapai 111,3 persen menjadi Rp 320,3 triliun dari target Rp 296,7 triliun. Pembiayaan dari dalam negeri realisasinya Rp 344,9 triliun atau 115,3 persen dari target Rp 299,3 triliun. ‎

Sementara realisasi pembiayaan luar negeri minus Rp 14,6 triliun, sehingga ada SiLPA Rp 22,7 triliun.

"Di tengah ketidakpastian perekonomian dunia, kami bisa mengelola APBN 2016 dengan baik untuk fokus menjalankan ‎APBN sebagai instrumen yang penting, kredibel, efektif, efisien, dan berkelanjutan," tandas Sri Mulyani.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya