Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan PMK Nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Aturan ini telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada tanggal 4 April 2017 lalu.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Boediarso Teguh Widodo, mengatakan, ada enam perubahan dalam PMK baru ini. Pertama, pencairan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak lagi bersifat tetap.
"DAU bisa naik dan turun. Kalau penerimaan negara naik, pagu DAU naik; kalau turun, DAU turun. Selama ini daerah dininabobokan. Ini untuk jaga kredibilitas APBN. Daerah wajib lakukan perubahan APBD. Ada yang lakukan perubahan dan ada yang tidak. Jadi sekarang mau tidak mau, suka tidak suka, harus diubah. Nanti ada APBD-P," ujar dia di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (13/4/2017).
Advertisement
Kedua, yaitu penyaluran dana transfer ke daerah. Pencairannya akan memperhatikan kinerja pelaksanaan program dan penerapan kebijakan dari setiap pemerintah daerah.
"Sekarang semuanya berdasarkan pada kinerja penyerapan dan capaian output. Kita kasih batas penyerapan, capaian output dan batas maksimum pelaporan. Untuk DAK (Dana Alokasi Khusus) fisik penyaluran tetap empat kali," kata dia.
Boediarso menambahkan, "Kalau dulu 30 persen kuartal I; 25 persen kuartal II; 25 persen kuartal III; dan 20 persen kuartal IV. Sekarang enggak, kuartal I 30 persen, kuartal II 25 persen, kuartal 25 persen, kuartal IV berdasarkan pada yang betul-betul sudah dikontrakkan," jelas dia.
Ketiga, terkait penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan dana desa. Nantinya penyaluran ini akan dilakukan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) di daerah masing-masing‎.
"Jadi pemda nagihnya ke KPPN setempat, tidak ke DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan) lagi. Ini untuk meningkatkan pelayanan kepada pemda. Kalau ke DJPK kan biayanya tinggi. Dari Papua ke Jakarta itu enggak cukup Rp 10 juta. Ini untuk efisiensi," kata dia.
Keempat, penguatan peran gubernur dalam usulan DAK Fisik. ‎"Ini dilakukan setelah ada singkronisasi usulan kegiatan DAK antarbidang dan antardaerah dan kegiatan yang dibiayai dengan DAk dan di luar DAK," lanjut dia.
Kelima, penyempurnaan kriteria Dana Insentif Daerah (DID). "Selama ini kriteria hanya dua, opini BPK atas LKPD, yakni sekurang-kurangnya WTP dan perda APBD tepat waktu. Kalau dipenuhi, dia dapat alokasi minimum Rp 7,5 miliar. Kalau sekarang ada tiga, yaitu kesehatan fiskal, kinerja layanan publik, dan kesejahteraan publik," ungkap Boediarso.
‎Keenam, pemerintah pusat akan mengevaluasi realisasi pemanfaatan anggaran di daerah bagi pembangunan infrastruktur. Nantinya pemerintah daerah wajib menggunakan 25 persen anggaran untuk pembangunan infrastruktur.
"Kualitas belanja infrastruktur di daerah perlu ditingkatkan melalui optimalisasi penggunaan dana desa dan transfer ke daerah. Saat ini belanja modal di daerah sekira rata-rata 23 persen untuk infrastruktur. Ada sebagian yang lebih 25 persen, tapi banyak juga yang 10 persen. Akibatnya, efektivitas itu pelayanan publik belum optimal," tandas Boediarso.
Â