Bos BCA: Banyak Pengusaha Kaya Jatuh Miskin Akibat Krisis 1998

Likuiditas perbankan kala itu mengalami gangguan lantaran terjadi penarikan rupiah (rush) di bank secara besar-besaran.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 24 Mei 2017, 15:45 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2017, 15:45 WIB
20160303-Jahja Setiaatmadja-Presiden Direktur BCA-AY
Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja saat memberi paparan kinerja kerja Bank BCA di Jakarta, (3/3). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Masih ingat dengan krisis moneter atau krismon yang menggoyang negara-negara Asia, termasuk Indonesia di 1997-1998? Krisis keuangan ini telah menghantam perbankan nasional sehingga biaya pemulihan krisis pada waktu itu mencapai 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja mengaku banyak pengusaha maupun nasabah pemilik dana besar jatuh miskin akibat dampak dari krisis moneter pada periode 1997-1998. 

"Rush waktu itu kan karena ada masalah politik saat era pemerintahan Soeharto. Banyak orang jatuh miskin, utamanya yang punya utang dolar besar. Bayangkan saja dari kurs Rp 2 ribu-Rp 3 ribu jadi Rp 14 ribu per dolar AS, bangkrut lah orang itu," tegas Jahja usai Peluncuran Buku Stabilitas Sistem Keuangan di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (24/5/2017).

Dia mengusulkan supaya otoritas perbankan dapat menetapkan batas maksimal bunga kredit atau pinjaman ke nasabah guna mengurangi risiko yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Tujuannya supaya perbankan tidak seenaknya menaikkan bunga kredit saat kekurangan likuiditas.

"Kalau sampai ada gejolak (sistem keuangan) bisa ditahan, bank jangan sampai jor-joran memberi bunga tinggi ketika mengalami kesulitan likuiditas," Jahja menerangkan.

Dia menambahkan, jika tingkat bunga kredit tinggi, maka imbasnya nasabah tidak sanggup membayarnya. "Misalnya paling tinggi 10 persen, maka tingkat bunga pinjaman 10 persen, tidak bisa lebih dari itu. Tidak mungkin kan sampai 30 persen, karena kalau dulu bunga pinjaman 30 persen-40 persen, siapa yang bisa tahan, perusahaan pada bangkrut semua," tegas Jahja.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo mengungkapkan situasi dan kondisi di perbankan dalam pusaran krisis 1997-1998. Ketika itu, bank-bank nasional dalam keadaan paceklik, diperparah dengan masalah portofolio kredit cukup besar.

"Saat itu banyak moral hazard, bukan cuma di nasabahnya tapi juga pengurus, pemilik, dan pengawasnya, semua ada moral hazard. Perbankan terguncang, kemudian merembet ke ekonomi Indonesia, dan reaksi-reaksi yang dilakukan kurang bisa meyakinkan investor sehingga investor kabur dari Indonesia ke luar negeri," jelasnya.

"Investor global tidak percaya dengan Indonesia. Kondisi inilah yang mendorong kita mengeluarkan penjaminan Dana Pihak Ketiga (DPK), semuanya dijamin, dan sebagainya. Tapi sekarang dengan reformasi perbaikan sistem struktural dan sumber daya manusia, kita sudah dalam kondisi baik," Agus menambahkan.

Agus mengaku, Indonesia sudah belajar dari pengalaman krisis besar yang melanda pada 1997-1998. Sehingga saat krisis keuangan global di 2008, Indonesia bisa melewatinya dengan berbagai upaya. Upaya itu, tambahnya, dengan merevisi Undang-undang BI pada 1999 supaya negara ini lebih siap menghadapi, bahkan mencegah krisis berikutnya.

Kemudian Kementerian Keuangan memiliki UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara agar lebih kuat dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mendirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan membentuk UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2011.

"Saya melaporkan kondisi Indonesia cukup baik, termasuk sistem keuangannya karena pengelolaan yang lebih baik. Walaupun kita tahu kondisi global tidak sebaik yang diduga karena masih ada risiko ekonomi dunia, tapi sekarang ini secara umum Indonesia baik," tukas Mantan Menteri Keuangan itu. 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya