Liputan6.com, Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan kebijakan pemberantasan praktik pencurian ikan telah berdampak signifikan mengerek jumlah produksi ikan di Indonesia. Hal ini disampaikan Susi saat menghadiri RARE Side Event’s The Forgotten Fisheries di New York, baru-baru ini.
Acara tersebut juga dihadiri Presiden Republik Palau, Tommy E. Remengesau; Menteri Kelautan, Perairan Pedalaman, dan Perikanan Mozambik, Agostinho Mondlane; Menteri Pertanian, Pembangunan Desa dan Maritim & Manajemen Bencana Nasional Republik Fiji, India Seriuiratu.
Hadir pula Direktur FAO Divisi Kebijakan dan Sumberdaya Perikanan dan Pertanian, Manuel Barange; Senior Asosiasi Tim Lingkungan Bloomberg Philanthropies, Mellisa Wright; dan berbagai perwakilan negara serta LSM lainnya.
Advertisement
Menteri Susi menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan bagi setiap negara.
Ia menceritakan, pengelolaan perikanan Indonesia di masa lalu kurang memperhatikan aspek keberlanjutan dan maraknya praktik pencurian ikan (illegal fishing) telah membuat Indonesia kehilangan banyak stok ikan.
Berdasarkan data statistik periode 2003-2013, stok ikan di laut Indonesia berkurang hingga 30 persen.
“Dulu, saat saya masih jadi pengusaha perikanan, saya harus membeli 30 sampai 40 ton ikan dari pasar ikan setiap harinya untuk diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat, " terang Susi dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (11/6/2017).
"Sampai suatu ketika, saya hanya bisa mendapatkan 100 kg ikan saja, dari jumlah 30 ton yang harus saya penuhi. Saya tidak tahu mengapa itu bisa terjadi," ujarnya.
"Sampai saya menjadi menteri dan menemukan alasannya. Ternyata penyebabnya adalah praktik illegal fishing dan penangkapan yang tak memperhatikan keberlanjutan,” kenang Menteri Susi.
Dalam upaya memperbaiki keadaan tersebut, Menteri Susi mengeluarkan kebijakan pemberantasan pencurian atau maling ikan, moratorium kapal perikanan asing, pelarangan transshipment, dan pelarangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan.
“Kebijakan-kebijakan ini memang tidak mudah, terutama bagi negara kecil dan berkembang. Karena dalam upaya menjaga keberlanjutan sumber daya ini, kita harus berhadapan dengan kepentingan bisnis multinasional dan transnasional yang besar dan terorganisasi,” ungkap Menteri Susi.
Selain itu, lebih jauh ia mengatakan Indonesia juga mulai menata pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan pembatasan kuota penangkapan ikan.
“Kami membatasi ukuran kapal yang bisa melakukan penangkapan, maksimal berkapasitas 150 GT, dan kapal pengangkut maksimal 200 GT. Dengan ini, pada dasarnya kami ingin menghidupkan kembali konstitusi,” ujar Menteri Susi.
Menteri Susi kembali bercerita, segala upaya yang dilakukan tersebut membuahkan hasil. Dalam dua tahun terakhir, diakuinya, stok ikan Indonesia mengalami peningkatan.
Berdasarkan Data Komisi Pengkajian Ikan Nasional, stok ikan Indonesia hanya 6,5 juta ton pada 2014. Kemudian meningkat menjadi 12 juta ton 2016. Angka konsumsi ikan masyarakat pun terkerek naik dari 36 kg per kapita pada 2014 menjadi 43 kg per kapita di 2016.
“Pembatasan kuota dan memerangi, saya pikir juga menjadi perhatian anggota PBB lainnya. Indonesia sudah membuktikan dengan stok tuna yang fantastis, di mana 60 persen yellow fin tuna dunia berasal dari Indonesia,” ucap Menteri Susi.
Pada kesempatan yang sama, Presiden Republik Palau, Tommy E. Remengesau mengungkapkan komitmen negaranya untuk menjalankan pengelolaan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
“Kami berkomitmen memastikan penangkapan ikan yang kami lakukan bertanggung jawab dan menjaga kelestarian. Nelayan-nelayan yang bertanggung jawab memungkinkan sumber daya perikanan Palau dapat memberi manfaat lebih baik bagi masyarakat, bangsa, dan ekonomi kami,” ujar Tommy.
Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan berkelanjutan pada akhirnya akan menghasilkan ekosistem pesisir yang kaya dan masyarakat nelayan yang tangguh. Cara utama untuk mewujudkannya, yaitu dengan mendorong usaha penangkapan ikan skala kecil dan menciptakan komunitas nelayan yang sadar akan pentingnya keberlanjutan.