Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meminta agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perkelapasawitan tidak perlu dilanjutkan. Pasalnya, implementasi norma pengaturan di bidang perkelapasawitan saat ini sudah berjalan dengan baik melalui pelaksanaan tugas dan fungsi antara kementerian dan lembaga (K/L) terkait.
“Kami berpendapat peningkatan kinerja perkelapasawitan nasional perlu dilakukan melalui penajaman tugas dan fungsi kementerian dan lembaga, termasuk BLU Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) serta forum kerja sama Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC),” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Airlangga mengungkapkan, pihaknya sebagai instansi yang berwenang dalam membina sektor industri, termasuk industri pengolahan kelapa sawit, telah melakukan analisis atas urgensi pembentukan RUU tentang Perkelapasawitan. Dari hasil analisis tersebut, dia menilai tidak ada kekosongan hukum.
Advertisement
Baca Juga
“Pengaturan terkait perkelapasawitan dari hulu sampai hilir pada level UU sudah diatur secara lengkap dan berjalan dengan baik, sehingga tidak ada lagi kekosongan hukum yang perlu diatur lagi pada level UU,” ucap dia.
Adapun regulasi yang sudah berjalan tersebut, antara lain UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kemudian, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup.
Menurut Airlangga, pengaturan dalam bentuk UU terhadap suatu komoditas tertentu akan berimplikasi memasuki kewenangan sektoral. Hal ini mengingat pembagian urusan pemerintahan dilakukan dengan membagi ruang urusan secara proses, sehingga akan beririsan.
“Selain itu, sektor perkelapasawitan memiliki kateristik yang hampir sama dengan komoditas perkebunan lainnya, sehingga tidak perlu diatur secara khusus,” tutur dia.
Oleh karena itu, dia menilai RUU tentang Perkelapasawitan ini berpotensi tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan menambah kerumitan dalam implementasinya. Sebagai contoh, perizinan untuk Usaha Industri Pengolahan.
RUU tentang Perkelapasawitan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan Produk Primer (IUP-PP), Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan Produk Lanjutan (IUP-PL), dan Izin Usaha terkait Jasa Perkelapasawitan (IU-JPK).
“Ketiga perizinan tersebut telah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yaitu Izin Usaha Industri (IUI). Selain itu, tidak sejalan dengan semangat pemerintah dalam menyederhanakan perizinan usaha serta meningkatkan ease of doing business,” ungkap Airlangga.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indonesia merupakan produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Bahkan, nilai ekspor minyak sawit mentah dan turunannya mencapai US$ 20 miliar. “Industri perkelapasawitan merupakan salah satu sektor yang berkontribusi dan berpotensi besar dalam pembangunan nasional,” ujarnya.
Potensi itu antara lain melalui penyerapan tenaga kerja, penciptaan nilai tambah, sumber pendapatan negara, perolehan devisa ekspor, dan menyumbang pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Di samping itu, sektor industri perkelapasawitan berperan dalam pemerataan pembangunan dan kedaulatan ekonomi bangsa, khususnya bagi daerah luar Jawa, daerah terpencil, dan wilayah perbatasan negara.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: