Pedagang Pasar Menanti Kemudahan Pembiayaan Perumahan

Selama ini pedagang pasar sulit mengakses pembiayaan perumahan lantaran dianggap tidak layak secara bank.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 29 Agu 2017, 19:27 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2017, 19:27 WIB
Property Rumah
Ilustrasi Foto Property Rumah (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Para pedagang pasar mengharapkan adanya kemudahan akses pembiayaan perumahan. Lantaran selama ini mereka tidak dianggap layak secara bank (bankable).

Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan, selama ini pedagang pasar sulit mengakses pembiayaan rumah. Dia mengatakan, sebenarnya pedagang pasar memiliki pendapatan cukup. Namun, itu tidak bisa dibuktikan karena tidak memiliki slip gaji. Dia menuturkan, pembuktian akan pendapatan ini juga menjadi penghalang untuk mendapat akses permodalan.

"Memang untuk pedagang pasar, untuk pembelian rumah, kredit usaha rakyat (KUR) agak kesulitan karena kita tidak dianggap bankable. Padahal, sesungguhnya penghasilan kita itu lebih banyak daripada yang penghasilan tetap. Tapi karena tidak bisa dibuktikan persyaratan bank yang cukup rumit ini menjadi masalah, menjadi penyebab utama pedagang mengalami kesulitan," kata dia kepada Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (29/8/2017).

Abdullah menuturkan, pedagang pasar memiliki berbagai kriteria, dari pedagang kecil dengan lapak di pinggir jalan hingga yang besar dan memiliki ruko. Rata-rata, pedagang kecil memiliki pendapatan Rp 50 ribu-75 ribu per hari dan pedagang pasar Rp 1 juta per hari.

Lebih lanjut, bukan hanya dari sisi pedagang pasar, sulitnya akses pembiayaan perumahan disebabkan oleh kerumitan dari sistem bank itu sendiri.

Abdullah bilang, pedagang pasar belum masuk kriteria pengusaha lantaran kebanyakan masih konvensional atau tradisional. Artinya, masih banyak pedagang yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) ataupun izin usaha.

"Ini yang harusnya jadi tantangan bersama mempermudah akses pembuatan izin usaha, pembuatan NPWP pedagang tradisional. Dalam rangka mempermudah proses bankable," ujar dia.

Sebab itu, dia mengapresiasi jika terdapat akses pembiayaan perumahan yang mengakomodasi pekerja nonformal termasuk di dalam pedagang pasar. "Jika ada akses yang mempermudah itu, dengan tidak mempersulit prosesnya, saya pikir ini sangat baik bagi pedagang. Karena banyak, tidak hanya pedagang pasar, bisa juga orang yang ada disekitarnya bisa mendapat akses itu," tutur dia.

Saat ini, dia mengatakan, para pedagang cenderung memenuhi kebutuhan huniannya dengan kontrak.

"Memang banyak yang masih kontrak, kadang-kadang satu pedagang mempunyai keluarga yang besar. Kadang eksodus dari daerah ke Jakarta juga banyak saudaranya untuk terlibat. Ini kalau tidak punya rumah sendiri nggak akan berkembang," ujar dia.

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

Cara Pemerintah Mendorong Pekerja Informal Punya Rumah

Sebelumnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan pembiayaan mikro perumahan (PMP) untuk rumah swadaya bagi pekerja informal. Pekerja informal sendiri merupakan pekerja dengan penghasilan tidak tetap seperti penjual bakso, satai, tukang cukur, dan lainnya.

Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti mengatakan, skema pembiayaan mikro perumahan menjembatani pemenuhan kebutuhan pekerja informal melalui bantuan akses pembiayaan ke perbankan untuk membangun rumah inti tumbuh (RIT) maupun rehabilitasi rumah.

Penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian PUPR dengan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), PT Pegadaian, dan Yayasan Habitat Kemanusiaan Indonesia (YHKI) di Semarang, Rabu 23 Agustus lalu.

"Dari berbagai kajian ekonomi, skema ini merupakan skema yang cocok bagi pekerja informal. Dengan besaran plafon maksimal Rp 50 juta dan jangka waktu angsuran maksimal 5 tahun, sesuai dengan karakteristik pekerja informal, hal ini akan mengurangi resiko kredit macet," kata Lana dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu 26 Agustus 2017.

Skema pembiayaan mikro perumahan ini bersifat bertahap dan berulang. Dana yang diperoleh dari kredit mikro tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan atau rehabilitasi rumah secara bertahap. Kredit yang diberikan maksimal Rp 50 juta dengan jangka waktu angsuran maksimal 5 tahun di mana setelah lunas, debitur dapat mengajukan pinjaman kembali dengan besaran dan jangka waktu yang sama.

"Pemanfaatannya fleksibel, misalnya pinjaman pertama untuk kegiatan pembelian kavling tanah, bangun pagar, bangun pondasi, atau bangun konstruksi bangunan. Kemudian jika pinjaman sudah lunas, bisa mengajukan pinjaman baru untuk mengembangkan rumah, misalnya menambah kamar, toilet, atau perbaikan rumah lainnya," ujar Lana.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya