BI Rilis Aturan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Akhir September

Pada 31 Oktober 2017 pembayaran jasa penggunaan jalan tol di seluruh Indonesia harus menggunakan uang elektronik.

oleh Arthur Gideon diperbarui 15 Sep 2017, 16:40 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2017, 16:40 WIB
20170125-BI-dan-Pemerintah-Jaga-Inflasi-IA
Gubernur BI, Agus Martowardojo menyampaikan keterangan sesusai menggelar rapat koordinasi di Jakarta, Rabu (25/1). Agus mengatakan upaya menjaga inflasi volatile food menjadi salah satu dari enam langkah strategis. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan aturan mengenai pemungutan biaya isi ulang (top up) untuk uang elektronik atau e-money. BI berharap masyarakat memahami bahwa adanya biaya tersebut demi memaksimalkan sarana dan prasarana.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memastikan peraturan anggota dewan gubernur pemungutan biaya isi saldo uang elektronik perbankan dari konsumen akan terbit akhir September 2017.

"Kami akan atur batas maksimumnya, dan besarannya, biayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen," kata Agus, Jumat (15/9/2017).

Agus mengatakan regulasi isi saldo tersebut akan berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG). Ia belum mengungkapkan aturan besaran maksimum biaya isi saldo uang elektronik karena masih dalam finalisasi.

Agus menjelaskan, BI akhirnya memperbolehkan perbankan memungut biaya isi saldo uang elektronik karena mempertimbangkan kebutuhan perbankan akan biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.

Mengingat pada 31 Oktober 2017 pembayaran jasa penggunaan jalan tol di seluruh Indonesia harus menggunakan uang elektronik, maka perbankan juga harus menyediakan loket dan tenaga Sumber Daya Mineral (SDM) di area sekitar jalan tol agar kebutuhan masyarakat untuk membayar jasa jalan tol terpenuhi.

"Kita harus yakinkan bahwa saat masyarakat beli uang elektronik untuk jalan tol, itu harus tersedia secara luas. Oleh karena itu BI mengizinkan untuk ada tambahan biaya," ujarnya.

Selain loket penjualan uang elektronik, kata Agus, perbankan juga harus menyiapkan sarana prasarana untuk melayani isi saldo uang elektronik. "Kami juga berharap masyarakat memahami kalau tidak ada biaya top up nanti akan terbatas itu kesediaan sarananya," ujar dia.

Sejak wacana pengenaan biaya isi saldo uang elektronik ini mengemuka, kalangan pelaku usaha jasa sistem pembayaran mengusulkan pengenaan biaya di kisaran Rp1.500 sampai Rp2.000 setiap kali isi ulang.

Sebagai gambaran, jumlah uang elektronik di Indonesia beredar per Juli 2017 mencapai 69,45 juta atau naik 35 persen dibandingkan periode akhir 2016 yang tercatat 51,2 juta.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tidak adil

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengaku jika pengenaan biaya saat top up diterapkan, maka dianggap tidak adil. Dia menilai perbankan, dengan ada sistem nontunai sudah diuntungkan.

"Diuntungkannya apa, masyarakat dengan sendirinya dengan adanya aktifitas non tunai, oleh karenanya, apa alasan perbankan harus membebenai masyarakat, jadi tidak adil," kata Enny kepada Liputan6.com, Jumat (15/9/2017).

Enny mengungkapkan, uang elektronik ke depannya tidak hanya digunakan di gerbang tol, melainkan juga ke seluruh moda transportasi lainnya. Saat ini yang udah menerapkan adalah Trans Jakarta dan KRL di Jabodetabek.

Dirinya mengingatkan, golongan ekonomi masyarakat itu berbeda-beda. Ada yang kelas menengah ke atas dan kelas menengah ke bawah.

"Jadi jangan hanya dilihat besarannya, otoritas moneter itu bilang itu kecil tidak membebani masyarakat, itu jelas membebani," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya