Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) berencana mengeluarkan aturan untuk mengenakan biaya top up (isi ulang) uang elektronik pada akhir September 2017. Asosiasi Financial Technology (Fintech) atau perusahaan keuangan berbasis teknologi menilai hal itu memiliki plus minus.
Ketua Asosiasi FinTech Indonesia, Niki Luhur menuturkan, untuk mendukung rencana pemerintah dalam menerapkan dan mendorong terbentuknya masyarakat nontunai dibutuhkan infrastruktur yang memadai. Ini agar masyarakat mudah dan nyaman menggunakan layanan nontunai itu.
Biaya isi ulang uang elektronik, Niki menuturkan, salah satu yang dapat menjadi sumber daya bagi penyedia produk dan jasa uang elektronik untuk untuk memenuhi kebutuhan investasi pembangunan infrastruktur alat bayar nontunai termasuk bangun infrastruktur konektivitas telekomunikasi.
Advertisement
Baca Juga
Niki mengatakan, sesuai peraturan BI, penyedia produk dan jasa uang elektronik tidak dapat menggunakan saldo yang terkumpul dari uang elektronik.
"Oleh karena itu, kebijakan penambahan biaya isi ulang dan besarnya nominal yang dikenakan sangat tergantung dari keputusan setiap penyedia produk uang elektronik," jelas Niki, seperti ditulis, Selasa (19/9/2017).
Ia menuturkan, pengenaan biaya isi ulang uang elektronik itu dengan harapan biaya yang dikenakan kecil nilainya. Selain itu tidak membebani nasabah.
"Terdapat beberapa pelaku usaha yang memilih untuk berfokus pada akuisisi jumlah nasabah dengan harapan dapat menawarkan jasa layanan keuangan seperti pinjaman," kata Niki.
Ia menambahkan, tentunya layanan tanpa biaya akan lebih menguntungkan bagi konsumen sebagai pengguna produk uang elektronik. Namun, di satu sisi, pemberlakuan biaya isi ulang menjadi salah satu alternatif solusi dan penting bagi terciptanya model bisnis yang berkelanjutan dalam industri keuangan, serta memberikan manfaat jangka panjang bagi konsumen.
Sementara itu, VP of Corporate Communications Doku Anistasya Kristina menuturkan, rencana BI merilis aturan itu baru bersifat imbauan dan belum diwajibkan.
Pihaknya akan tetap berusaha untuk meminimalkan biaya yang muncul terkait isi ulang uang elektronik. "Karena kami ingin terus mengedukasi pasar tentang kenyamanan dan manfaat menggunakan uang elektronik," kata Kristina.
Ia menuturkan, upaya edukasi dan biaya pengembangan uang elektronik besar. Oleh karena itu, perlu usaha bersama untuk edukasi penggunaan uang elektronik. Pihaknya pun sebisa mungkin untuk meminimalkan biaya misalkan lewat subsidi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
BI Bakal Rilis Aturan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik
Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan aturan mengenai pemungutan biaya isi ulang (top up) untuk uang elektronik atau e-money. BI berharap masyarakat memahami bahwa adanya biaya tersebut demi memaksimalkan sarana dan prasarana.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memastikan peraturan anggota dewan gubernur pemungutan biaya isi saldo uang elektronik perbankan dari konsumen akan terbit akhir September 2017.
"Kami akan atur batas maksimumnya, dan besarannya, biayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen," kata Agus, Jumat 15 September 2017.
Agus mengatakan, regulasi isi saldo tersebut akan berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG). Ia belum mengungkapkan aturan besaran maksimum biaya isi saldo uang elektronik karena masih dalam finalisasi.
Agus menjelaskan, BI akhirnya memperbolehkan perbankan memungut biaya isi saldo uang elektronik karena mempertimbangkan kebutuhan perbankan akan biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.
Mengingat pada 31 Oktober 2017 pembayaran jasa penggunaan jalan tol di seluruh Indonesia harus menggunakan uang elektronik, maka perbankan juga harus menyediakan loket dan tenaga Sumber Daya Mineral (SDM) di area sekitar jalan tol agar kebutuhan masyarakat untuk membayar jasa jalan tol terpenuhi.
"Kita harus yakinkan bahwa saat masyarakat beli uang elektronik untuk jalan tol, itu harus tersedia secara luas. Oleh karena itu, BI mengizinkan untuk ada tambahan biaya," ujarnya.
Selain loket penjualan uang elektronik, kata Agus, perbankan juga harus menyiapkan sarana prasarana untuk melayani isi saldo uang elektronik. "Kami juga berharap masyarakat memahami kalau tidak ada biaya top up nanti akan terbatas itu kesediaan sarananya," ujar dia.
Advertisement