Esteem Economy, Manusia Cyber Zaman Now yang Haus Tombol Like

Dunia online seakan mampu memberikan rasa aman (safety needs) bagi sebagian orang yang pemalu dan takut-takut dalam interaksi tatap muka.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Nov 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2017, 18:00 WIB
Ilustrasi like di media sosial Facebook
Ilustrasi (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali menilai perekonomian nasional saat ini diisi para manusia siber (cyber) yang haus dengan pengakuan, khususnya di sosial media. Begitulah yang ia namakan Esteem Economy (Pengakuan Ekonomi).

Rhenald mencoba iseng bertanya kepada para ibu peserta seminar dan pelatihan “Marketing in Disruption” di Rumah Perubahan: “Pernah selfie dan tayangkan fotonya di Facebook dan Instagram?.”

“Sering,” jawab mereka.

Lalu apa yang dirasakan kalau sejam tak ada yang kasih jempol, “like,” atau “share”? Tiba-tiba si ibu-ibu tadi gelisah, tapi cuma sebentar, lalu tertawa riang. Menertawakan diri sendiri.

Seorang pria menjawab, “Saya yang disuruh kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak tidurnya. Kalau tidak, gelisah.” Menurut Rhenald, itulah Esteem Economy. Dia menjelaskan, manusia gelisah bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di lapangan secara nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti, dan gobak sodor.

"Ah benar-benar jadul. Manusia baru atau "kids zaman now" yang hari-hari ini mengisi perekonomian kita adalah manusia cyber," Rhenald menerangkan seperti dikutip di Jakarta, Senin (20/11/2017).

Lebih jauh dia bilang, manusia cyber mempunyai cara sendiri dalam memenuhi rasa aman (safety needs) dan self esteem (harga diri) yang dipelajari sebagai Maslow Hierarchy of Needs. "Foto-foto diri, komplain-komplain kecil, share tentang sesuatu adalah objeknya," ujarnya.

Esteem Economy

Rhenald menegaskan, perlunya mendalami motif manusia memenuhi kebutuhannya penting untuk memahami proses pergeseran perekonomian. Dia menganggap dunia benar-benar disruptif (berubah).

"Motif memenuhi kebutuhan itu bergeser di peradaban cyber. Manusia beradaptasi, bertahan dan berevolusi dengan motif pemenuhan kebutuhan tadi," ujarnya.

Dia menjelaskan, dunia online seakan mampu memberikan rasa aman (safety needs) bagi sebagian orang yang pemalu dan takut-takut dalam interaksi tatap muka. Manusia bisa mengambil foto milik orang lain, mencuri, atau mengedit jati dirinya.

"Orang-orang yang memiliki “kelainan” di dunia riil, atau yang gemar menyebar fitnah, ternyata sosoknya tak semenakutkan tulisannya. Bahkan belum lama ini Ditreskrim Polri mengumumkan sebagian besar adalah penakut yang jarang bergaul," terangnya.

Tetapi di dunia cyber, dengan kemampuan bersembunyi (anonimitas), sambung Rhenald, bisa membuat mereka merasa nyaman dan berani berkomunikasi.

Dengan bergabung dalam komunitas online, kini manusia bisa merasakan a sense of belonging. "Mengutip Pioner Cyberpsychologyst Marry Aiken, mendapatkan liked di Facebook adalah wujud dari memenuhi needs for esteem," ujar Rhenald.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Liked Facebook

Liked Facebook

Demi mendapatkan liked, kata dia, mereka juga bawel mencari perhatian terhadap soal-soal kecil. Mulai dari soal toilet, sampai taksi yang tak datang-datang saat hujan deras, pun dijadikan tulisan pendek, sekadar komplain untuk mendapatkan esteem.

Dengan menyebarkan berita buruk atau copas tanpa memeriksa kebenarannya, manusia yang belum matang juga ingin mendapatkan pengakuan bahwa mereka lebih pandai atau tahu lebih dulu dari yang lain.

"Begitulah esteem economy. Manusia selalu mencari cara untuk mendapatkan pengakuan berupa share, like dan jempol," tukas Rhenald.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya