Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia meminta Kementerian Pertanian (Kementan) untuk tidak lagi menyampaikan informasi stok beras yang tidak akurat kepada publik.
Hal ini menyusul terjadinya gejolak harga beras yang terjadi beberapa waktu terakhir ini akibat kelangkaan beras medium.
Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengungkapkan, selama ini Kementan selalu menyatakan jika produksi beras suplus dan stok cukup. Pernyataan tersebut hanya didasarkan pada perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.
Advertisement
Baca Juga
‎"Kami menyarankan pemerintah menghentikan pembangunan opini-opini surplus yang berlebihan," ujar dia di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Dia menuturkan, gejala kenaikan harga beras sebenarnya sudah terjadi sejak akhir tahun, tanpa adanya temuan penimbunan dalam jumlah yang besar. Hal ini mengindikasikan kemungkinan proses mark up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini.
Alamsyah menambahkan, akibat penyataan suplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, membuat pengambilan keputusan terkait perberasan berpotensi keliru.
"Ombudsman menyarankan juga (Kementan) melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program cetak sawah, LTT (luas tambah tanam), benih subsidi, dan pemberantasan hama oleh Kementan," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Keran Impor Beras Sudah Dibuka
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka keran impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton.
Impor tersebut dilakukan guna menjamin tersedianya pasokan beras di dalam negeri dan menurunkan harga beras di pasaran. Harga beras mengalami kenaikan diduga karena data produksi beras yang tak akurat.
Pengamat Pertanian dan juga Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor ( IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan, masalah harga beras naik seharusnya bisa diredam jika terdapat data yang jelas. Selama ini, harga beras sering naik karena data produksi dan konsumsi tak jelas.
"Jadi kebijakan pangan didasarkan pada data yang tidak akurat selama ini," jelas dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu 14 Januari 2018.
Dampak dari data yang tak akurat ini kemudian merembet karena Kemendag harus impor. Dibukanya keran impor beras ini akan merugikan petani lokal. Sebab beras yang diimpor tersebut diperkirakan baru akan masuk berbarengan dengan masa panen petani pada Maret 2018.
"Keputusan impor sekarang ini akan menghancurkan harga gabah di level usaha tani, di saat panen raya pada Maret. Dan keputusan impor ini tidak akan berpengaruh besar terhadap harga, kecuali hanya secara psikologis," ujar dia.
Meski Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan beras impor tersebut akan masuk pada akhir Januari, namun Andreas tidak yakin beras tersebut akan masuk sesuai jadwal. Pasalnya, waktu pengiriman dari negara asal beras ke Indonesia setidaknya membutuhkan waktu 1,5 bulan.
"Karena dari Port (pelabuhan negara asal beras) to Port (ke pelabuhan di Indonesia) sekitar 3 minggu, dengan negosiasi perdagangannya itu butuh 1 minggu kalau bisa cepat. Itu sudah 1 bulan. Belum loading dan uploading, kemudian juga distribusi. Sehingga totalnya butuh waktu 1,5 bulan," kata dia.
Dengan perhitungan itu, lanjut dia, maka 500 ribu ton beras khusus tersebut baru ‎akan masuk ke Indonesia pada Maret atau bertepatan dengan musim panen di dalam negeri. Kecuali, jika sebelumnya memang telah ada kesepakatan untuk melakukan impor beras.
"Artinya beras impor ini akan masuk di akhir Februari atau di awal Maret. Ya tidak mungkin (masuk di akhir Januari). Kecuali sudah ada negosiasi sebelumnya. Berasnya sudah ada di tengah laut. Kalau baru diputuskan sekarang ya tidak mungkin akhir Januari, mau dipercepatan kaya apapun. Kecuali mau diterbangkan dengan pesawat ke Indonesia," jelas dia.
Advertisement