Kepala BKPM: Indonesia Defisit Pekerja Terampil

Wacana revisi UU tentang pendidikan yang menyatakan bahwa universitas asing bisa mendirikan perguruan tinggi di Indonesia terus menuai pro-kontra.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 06 Mar 2018, 14:52 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2018, 14:52 WIB
20151223-Mendag Thomas Lembong
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong.

Liputan6.com, Jakarta - Wacana revisi undang-undang tentang pendidikan yang menyatakan bahwa universitas atau politeknik asing bisa mendirikan perguruan tinggi di Indonesia terus menuai pro-kontra. Beberapa pihak menilai, deregulasi itu baik demi menciptakan tenaga terampil dalam negeri yang jumlahnya masih minim.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyatakan hal serupa. Upaya pengembangan di sektor pendidikan itu penting untuk bantu tingkatkan jumlah tenaga kompeten Indonesia dalam berbagai bidang.

“Seperti yang bapak Presiden (Jokowi) katakan, kita defisit keterampilan. Kita kurang sekali pekerja-pekerja terampil, seperti orang yang terampil di bidang perhotelan, perawat, medis, teknisi,” tukasnya di Kantor BKPM, Jakarta, Selasa (6/3/2018).

BKPM, menurutnya, tidak bisa hanya mengincar target dan jumlah investasi pada sektor riil saja, tapi juga harus mempertajam sasaran dalam menghadapi risiko guncangan ekonomi global yang kini makin diperparah oleh kebijakan proteksionis Washington dan dampak kenaikan suku bunga.

 

Investasi Sektor Pendidikan

Merencanakan Dana Pendidikan Anak Semudah Menggenggam Smartphone
Ilustrasi mengatur keuangan.

Oleh karena itu, Thomas menilai, investasi di sektor pendidikan itu penting dan harus digenjot. Selain itu, investasi di sektor pendidikan dan vokasi juga secara jumlah dananya tidak besar, namun dampaknya akan sangat besar.

“Tanpa itu, investasi yang lebih besar seperti di sektor pariwisata dan perindustrian tidak bisa jalan, karena defisit tenaga terampil,” kata dia.

“Itu menjadi contoh agar kita harus cerdas dalam memilih serta mempertajam sasaran deregulasi dan daftar negatif investasi (DNI),” pungkas Thomas.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya