Liputan6.com, Jakarta - Keputusan pemerintah mengimpor 500.000 ton beras untuk menstabilkan harga beras di dalam negeri pada Februari 2018 tidak efektif. Salah satu penyebab tidak efektifnya impor beras ini adalah waktu yang tidak tepat.
Ketua Dewan Pembina (Chairwoman) Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Saidah Sakwan menyatakan, impor beras dilakukan saat Indonesia belum memasuki masa panen raya.
Ia menjelaskan, Indonesia biasanya memasuki masa paceklik beras pada September hingga Januari. Sementara itu pada periode Februari hingga Agustus, Indonesia mulai memasuki masa panen. Pada saat beras impor mulai memasuki Indonesia, yang dimulai pada Februari dan masih berjalan hingga Maret, Indonesia belum memasuki panen raya, baru beberapa daerah saja yang mengalami panen.
Advertisement
Baca Juga
“Akibatnya daerah-daerah yang mengalami panen ini diserbu dan hal ini membuat harga beras stok menjadi mahal. Misalnya saja saat Demak sedang panen, maka pedagang akan menyerbu Demak. Besoknya kalau ada daerah lain yang panen, maka mereka akan menyerbu daerah tersebut,” ungkap dia seperti ditulis pada keterangan tertulis, Sabtu (10/3/2018).
Perempuan yang juga menjabat sebagai Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini juga memaparkan, ada tiga hal yang harus dibenahi pemerintah terkait tata niaga beras di Tanah Air. Pertama adalah perlunya pembenahan dalam manajemen stok beras di Indonesia
Masalah yang ada dalam tata niaga beras adalah soal manajemen stok dan neraca beras nasional. Neraca yang dimaksud adalah neraca beras secara nasional, baik neraca dari sisi input atau produksi dan stok maupun neraca dari sisi konsumsi dan distribusi.
Karena masih ada jarak antara data produksi dan konsumsi, maka pemerintah harus hati-hati dalam mengintervensi kebijakan karena akan memengaruhi harga beras di pasar. Seperti saat ini di saat akan panen raya harga beras tetap tinggi karena ada kebijakan fleksibilitas harga pembelian oleh Bulog sebesar 20 persen.
"Problemnya, Bulog diperbolehkan untuk menggunakan flksibilitas harga sebesar 20% dari HPP. Harga Bulog itu menjadi referensi secara nasional. Lalu bagaimana kalau harganya tinggi atau di atas HPP? Hal ini akan berakibat pada kenaikan harga beras di pasar karena semua akan ikut naik menyesuaikan harga Bulog. Ketika harga Bulog mahal maka hal ini akan memengaruhi harga di tingkat konsumen," tegas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Data
Permasalahan berikutnya adalah mengenai data. Data terkait produksi beras, luas tanam dan lain-lain seringkali berbeda antara satu institusi dengan institusi lainnya. Diperkirakan ada19 juta ton surplus beras.
Padahal, lanjutnya, menurut Satgas Pangan, Kementerian Perdagangan dan Bulog, jumlah stok beras nasional terus berkurang dan tidak mencukupi kebutuhan pasar. Hal ini disebut Saidah sebagai permasalahan di tingkat kementerian teknis karena institusi-institusi tersebut gagal mensinkronkan data mereka.
Terakhir adalah terkait manajemen stok. Beras Miskin (Raskin) atau yang kini dikenal sebagai Beras Sejahtera (Rastra) merupakan kebijakan yang sudah dijalankan pemerintah sejak 1998. Namun, saat ini pemerintah melakukan reformasi dengan mengganti Raskin dengan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
“Hal ini berarti mengalihkan beras yang dulu diberikan dalam bentuk utuh menjadi beras dalam bentuk tunai. Artinya captive market yang ada di rastra beralih ke market secara publik atau umum. Hal ini akan memengaruhi manajemen stok,” jelas Saidah.
Ia juga menekankan pentingnya memperpendek jalur distribusi beras. Beras harus melewati lima sampai enam rantai distribusi sebelum sampai di tangan konsumen. Rantai distribusi beras harus dibuat lebih pendek dan efisien agar harga mahal di tingkat konsumen bisa dinikmati oleh petani.
Advertisement