Pelaku Pasar Lepas Dolar AS, Rupiah Mampu Perkasa

Hingga Kamis siang 24 Mei 2018, rupiah bergerak di kisaran 14.147-14.213 per dolar AS.

oleh Agustina Melani diperbarui 24 Mei 2018, 14:39 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2018, 14:39 WIB
Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS
Petugas menunjukkan uang pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (18/5). Pagi ini, nilai tukar rupiah melemah hingga sempat menyentuh ke Rp 14.130 per dolar Amerika Serikat (AS). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis pekan ini. Penguatan dolar AS dalam beberapa hari ini mendorong pelaku pasar merealisasikan keuntungan.

Berdasarkan data Bloomberg, Kamis (24/5/2018), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 0,11 persen dari penutupan perdagangan kemarin di posisi 14.209 per dolar AS. Rupiah dibuka di posisi 14.192. Hingga Kamis siang ini, rupiah bergerak di kisaran 14.147-14.213 per dolar AS.

Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada di posisi Rp 14.205 per dolar AS pada Kamis 24 Mei 2018. Sedangkan rupiah pada perdagangan kemarin 14.192.

"Penguatan rupiah secara teknikal. Dolar AS menguat dalam beberapa hari membuat pelaku pasar profit taking. Sejumlah mata uang pun menguat terhadap dolar AS," ujar Analis PT Bank Woori Saudara Tbk, Rully Nova saat dihubungi Liputan6.com.

Rully menambahkan, penguatan rupiah hanya sementara. Hal itu lantaran belum ada sentimen positif dari domestik.

“Indonesia alami defisit perdagangan pada April 2018. Itu mengkhawatirkan. Apalagi pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,2 persen pada kuartal II 2018 tak sesuai harapan,” kata Rully.

Selain itu, bank sentral Amerika Serikat (AS) juga akan melanjutkan menaikkan suku bunga. Hal itu dapat membuat dolar AS makin perkasa. “Rupiah masih di kisaran 14.000-an per dolar AS,” ujar dia.

Sementara itu, Ekonom Bank Permata Joshua Pardede menuturkan, penguatan rupiah didorong sentimen eksternal Pelaku pasar merespons positif hasil notulensi rapat bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve pada Mei 2018. Dari hasil rapat itu menunjukkan kalau bank sentral AS tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga.

Diperkirakan kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali. Hal itu membuat indeks dolar Amerika Serikat melemah terhadap mata uang negara berkembang. Imbal hasil surat berharga AS bertenor 10 tahun pun turun di bawah tiga persen.

"Kecenderungan pasar merespons notulensi the Fed pada Mei lalu. Indeks dolar AS jadi agak melemah. Namun imbal hasil SUN kita masih sekitar 7,5 persen," ujar Joshua saat dihubungi Liputan6.com.

 

BI: Sejak Awal Tahun, Pelemahan Rupiah Capai 4,53 Persen

Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS
Petugas memperlihatkan uang pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (18/5). Pagi ini, nilai tukar rupiah melemah hingga sempat menyentuh ke Rp 14.130 per dolar Amerika Serikat (AS). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menjelaskan, nilai rukar rupiah telah mengalami depresiasi 4,53 persen sejak awal tahun. Namun, pelemahan tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan negara lain seperti India, Turki, dan Brasil.

"Kalau kita lihat year to date, rupiah sampai dengan 21 Mei itu mengalami depresiasi 4,53 persen. Tapi kalau kita lihat India itu 6,7 persen, Turki 20 persen, dan Brasil 12,8 persen. Jadi memang negara yang transaksi berjalannya defisit, itu pasti akan tertekan," kata dia di Jakarta, Selasa 22 Mei 2018.

Jika dihitung dari awal mei hingga 21 Mei, rupiah telah terdepresiasi 1,94 persen. Tapi lagi-lagi, ia menyebutkan, kisaran tersebut masih lebih baik jika dibanding pencapaian mata uang negara-negara tetangga di periode yang sama.

"Tapi kalau kita lihat, Thailand di periode yang sama itu 2,1 persen (depresiasinya), Malaysia 1,4 persen, India 2,5 persen, dan Turki 12 persen," ungkap dia.

Selain itu, dia menilai, pelemahan rupiah juga diakibatkan sirkulasi neraca perdagangan Indonesia yang masih lebih besar kegiatan impor daripada ekspor.

Agus berkata, neraca perdagangan negara pada Maret kemarin sempat berhasil surplus USD 1,1 miliar. Sebaliknya, ia menambahkan, Indonesia harus defisit USD 1,6 miliar pada April, yang mengakibatkan nilai Rupiah cenderung melemah.

"Jadi kita harus dorong, Indonesia kembali jaya diekspor dan jangan hanya ekspor bahan mentah. Kita tidak bisa hanya dengan marah-marah begitu, kemudian rupiah menjadi kuat," Agus menegaskan.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya