Chandra Asri Bangun Kompleks Petrokimia Terintegrasi di RI

Pabrik MTBE milik Chandra Asri Petrochemical berkapasitas 127 ribu ton per tahun. Sedangkan pabrik Butene-1 berkapasitas 43 ribu ton per tahun.

oleh Septian Deny diperbarui 04 Jun 2018, 10:16 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2018, 10:16 WIB
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP) tengah membangun kompleks petrokimia terintegrasi di Indonesia.(Dok)
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP) tengah membangun kompleks petrokimia terintegrasi di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP) tengah membangun kompleks petrokimia terintegrasi di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan pembangunan pabrik Metil Tert-Butil Ether (MTBE) dan pabrik Butene-1 di Cilegon, Banten.

Presiden Direktur CAP Erwin Ciputra mengatakan, pabrik MTBE memiliki kapasitas 127 ribu ton per tahun. Sedangkan pabrik Butene-1 berkapasitas 43 ribu ton per tahun.

Dia menjelaskan, dengan menggunakan teknologi CDMtbe, Hidrogenasi Selektif BASF dan teknologi pemisahan Butene-1 dari CB&I, pabrik-pabrik ini akan dibangun di areal kompleks petrokimia CAP yang ada di Cilegon.

Selain itu, proyek ini akan menjadi pabrik MTBE dan Butene-1 pertama di Indonesia. "Pabrik dengan total investasi mencapai US$ 114 juta ini diharapkan mulai berproduksi secara komersil pada kuartal ketiga tahun 2020," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (4/6/2018).

Melalui anak usahanya, PT Petrokimia Butadiene Indonesia (PBI), CAP menunjuk Toyo Engineering Corporation (Toyo) dan Inti Karya Persada Tehnik (IKPT), yang merupakan entitas anak Toyo Indonesia, sebagai kontraktor teknis, pengadaan dan konstruksi (EPC) untuk kedua pabrik tersebut.

Toyo akan bertanggung jawab untuk sisi teknis dan peralatan yang diimpor. Sementara IKPT akan bertanggung jawab untuk perincian teknis, peralatan lokal dan konstruksi.

“Dengan kapabilitas dan pengalaman kerja yang luas di Indonesia, kami yakin Toyo dan IKPT dapat menyelesaikan pekerjaan EPC dengan tepat waktu," lanjut dia.

Menurut Erwin, pabrik-pabrik baru ini akan menyerap Raffinate-1, produk sampingan dari unit Butadiene yang sudah ada, untuk dijadikan bahan baku.

Produksi dari MTBE akan dijual ke market pengolahan bensin, sementara Butene-1 akan digunakan untuk kebutuhan internal di pabrik Polyethylene CAP.

Hal ini, kata Erwin, semakin mengukuhkan posisi CAP sebagai komplek petrokimia yang paling terintegrasi di Indonesia.

"Proyek ini memungkinkan kami untuk menciptakan nilai tambah dari produk sampingan, sembari mengamankan komponen kunci bahan baku untuk pabrik polyethylene kami,” tandas dia.

Lotte Chemical Bangun Pabrik Rp 49 Triliun di Banten Akhir 2018

Menperin dan pihak Lotte Chemical Titan (Dok Foto: Website Kemenperin)
Menperin dan pihak Lotte Chemical Titan (Dok Foto: Website Kemenperin)

Perusahaan industri petrokimia asal Korea Selatan, Lotte Chemical Titan akan melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) untuk pembangunan pabrik pada akhir 2018. Pabrik tersebut akan memproduksi nafta cracker.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, dengan nilai investasi yang mencapai USD 3,5 miliar, pabrik ini diharapkan dapat mendukung pengurangan impor produk petrokimia hingga 60 persen.

Jika dihitung dengan asumsi kurs Rp 14.107 per dolar Amerika Serikat (AS), maka nilai investasi pabrik tersebut sekitar Rp 49,37 triliun.

Nafta cracker selaku bahan baku petrokimia, kita memang kurang sehingga masih impor. Tetapi setelah ini produksi, bisa disubstitusi. Bahkan pabrik ini juga akan menghasilkan ethylene, propylene, dan produk turunan lainnya. Jadi, kita tidak akan impor lagi,” ujar Achmad dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (20/5/2018).

Menurut dia, proyek Lotte ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia yang tengah memprioritaskan akselerasi pertumbuhan industri petrokimia karena memenuhi kebutuhan produksi di banyak sektor hilir.

Sigit menjelaskan, saat ini Lotte masih menyelesaikan proses perizinan terkait pembebasan lahan, pembangunan pelabuhan, dan pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

“Tanah yang sudah tersedia sekarang seluas 100 hektare, tetapi mereka terus mencari tambahan karena area yang akan dibangun terintegrasi untuk menghasilkan bermacam-macam produk,” kata dia.

Dia menilai, masuknya investasi industri petrokimia di sektor hulu ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas nasional, seiring berkembangnya pasar petrokimia di dalam negeri.

“Investasi industri upstream memang sangat besar dan harus terpadu dengan produk turunan, karena kalau berdiri sendiri tidak akan ekonomis, pasti gulung tikar,” kata dia.

Tonton Video Ini:

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya