Liputan6.com, Jakarta - Hasil analisis Nomura Holdings Inc menempatkan Indonesia dalam daftar delapan negara berkembang yang memiliki risiko paling kecil terpapar krisis moneter. Analisis ini menjadi menarik karena Indonesia sedang menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah.
Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan, minimnya risiko Indonesia terkena krisis tak lepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintahan.
Advertisement
Baca Juga
”Kebijakan pemerintahan dalam hal ini, tentu policy mix, yaitu kombinasi kebijakan moneter dan fiskal. Tetapi proyek infrastruktur tetap menjadi panglima. Semua pihak mengakui itu,” ujar dia di Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Selain kebijakan pemerintah di ranah moneter dan fiskal, lanjut dia, ada dua faktor positif yang mendukung analisis Nomura. Pertama, banyaknya proyek infrastruktur strategis yang menjadi daya tarik investor asing untuk menanamkan modal ke Indonesia sehingga mampu menangkal krisis.
”Tidak hanya strategis, proyek-proyek infrastruktur tersebut menjadi daya tarik karena efisien dan daya saingnya meningkat drastis. Ini yang membuat investor asing terkesan,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sektor Perbankan
Kedua, kondisi sektor perbankan yang baik. Saat ini Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal perbankan berada di angka 22 persen. Hal itu menjadi garansi tidak akan terjadi krisis ekonomi yang berasal dari sektor perbankan, seperti terjadi pada krisis 1998.
”Bank masih bisa memberikan kredit (lending) dengan ekspansi 9 sampai 10 persen. Suatu hal yang tidak terjadi pada krisis 1998 lalu,” lanjut dia.
Kendati Indonesia berisiko kecil terpapar krisis, Tony tetap berharap pemerintah bisa mengendalikan defisit transaksi berjalan (CAD) yang mencapai 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Caranya adalah dengan mengerem proyek-proyek berbasis impor atau menggunakan devisa negara.
”Pemerintah harus menginjak pedal rem. Proyek-proyek yang berbahan baku impor atau menggunakan devisa, harus dikendalikan. Lebih selektif. Defisit transaksi berjalan harus dikendalikan di bawah 3 persen terhadap PDB,” jelas dia.
Advertisement
Riset Nomura
Sebagai informasi, Nomura Holding Inc perusahaan investasi internasional merilis laporan tentang risiko krisis nilai tukar mata uang di sejumlah negara berkembang.
Analisis Nomura didasarkan pada model peringatan awal krisis yang dinamakan Damocles. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi krisis nilai tukar di 30 negara berkembang. Model tersebut memeriksa sejumlah faktor seperti cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, dan impor.
Model Damocles mampu memprediksi 2/3 dari 54 krisis nilai tukar di negara berkembang sejak 1996 hingga 12 bulan ke depan. Dari situ muncul skor, dimulai dari 0 sampai 200. Jika skor sebuah negara lebih dari 100, dalam waktu 12 bulan ke depan akan berisiko mengalami krisis nilai tukar.
Nomura menyebut tujuh negara yang memperoleh nilai lebih dari 100, yaitu Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki dan Ukraina. Sri Lanka memperoleh nilai tertinggi 175, sehingga dianggap paling berisiko terpapar krisis.
Sementara itu, ada delapan negara yang memiliki ketahanan (resilien) menghadapi kondisi krisis dan mendapatkan skor 0. Selain Indonesia, negara lain yang berisiko kecil terpapar krisis adalah Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.
Menurut Nomura, Indonesia dinilai cukup risilien. Dengan cadangan devisa USD 117 miliar dan rendahnya rasio utang terhadap PDB, Indonesia masih cukup kuat untuk menahan pelemahan nilai tukar.