Asumsi Kurs Rupiah di APBN 2019 Pertimbangkan Faktor Eksternal

Pengamat Ah Maftuchan menyatakan langkah pemerintah menetapkan asumsi nilai tukar rupiah pada APBN 2019 sebesar 14.500 sudah cukup tepat.

oleh Merdeka.com diperbarui 05 Okt 2018, 21:32 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2018, 21:32 WIB
IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Anggaran DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati nilai tukar rupiah sebagai salah satu poin asumsi makro untuk Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi 14.500.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan menyatakan langkah pemerintah dalam menetapkan asumsi dasar nilai tukar rupiah pada APBN 2019 sebesar 14.500 sudah cukup tepat. Dia menuturkan, angka itu dipatok sebagai pertimbangan pemerintah dengan melihat kondisi ekonomi global saat ini.

"Itu merupakan APBN (2019) yang relatif jujur. Dalam pengertian pemerintah mengakui ada faktor eksternal cukup berat terefleksikan dari kurs yang dipatok dari APBN pemerintah sudah mematok Rp 14.500 meskipun hari ini di pasar mata uang dolar sudah Rp 15.000," kata Maftuchan dalam diskusi yang digelar di Cikini, Jumat (5/10/2018).

Maftuchan menilai, pertimbangan lain pemerintah dalam menentukan asumsi dasar nilai tukar rupiah tersebut, juga berkaca pada APBN tahun lalu. Target pemerintah pada APBN 2018 sebesar Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat. Namun, realisasi yang terjadi justru melesat jauh dari yang dibayangkan.

"Tapi jelas itu refleksi yang relatif jujur karena APBN 2018 pemerintah masih menetapkan rentang yang relatif jauh atas Rupiah dan realitas di pasar," kata dia. 

Dalam pandangan Maftuchan, pemerintah juga mempertimbangkan faktor lainnya seperti yang ada di dalam negeri. Ia menuturkan, pada 2019, pemerintah menghadapi situasi yang sulit, dengan adanya pemilu dan utang jatuh tempo harus dibayarkan.

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengakui di tengah kondisi saat ini menentukan asumsi Rupiah untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 tidaklah mudah. Sebagai informasi, pada nota keuangan 16 Agustus lalu telah ditetapkan asumsi Rupiah adalah 14.400.

"Terus terang dalam kondisi hari ini menetapkan nilai tukar Rupiah tahun depan tidak mudah," kata Menkeu Sri Mulyani di Gedung DPR RI.

Sri Mulyani mengungkapkan, angka tersebut juga sudah dinaikkan dari asumsi awal yang hanya Rp 14.000 USD. "Kemarin disepakati range nilai tukar 14.000 dan kami ubah di nota keuangan (menjadi) 14.400," ujar dia.

 

 

Tambal Defisit BPJS Kesehatan lewat Sumber Pajak Lain

BPJS Kesehatan
Verifikasi digital klaim BPJS Kesehatan sudah diterapkan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta sejak 14 Maret 2018. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Selain itu, Ah Maftuchan angkat bicara soal BPJS Kesehatan. Ia menyayangkan upaya pemerintah dalam menutupi defisit pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hanya mengandalkan pemotongan pajak rokok. Seharusnya, pemerintah bisa memperluas dari pajak lainnya yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

"Pertama, kebijakan cukai memang perlu diubah secara drastis. Bukan hanya cukai rokok, tapi cukai minuman pemanis buatan dan alkohol harus segera ditingkatkan secara signifikan dan langsung di irmark untuk belanja kesehatan. Jadi cukai dari hal-hal buruk ini langsung di irmark untuk belanja kesehatan," tutur dia.

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Menteri Keuangan secara resmi keluarkan aturan yang mengatur pemotongan pajak rokok untuk mendukung program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 128/PMK.07/2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan. 

Dalam beleid aturan tersebut, ditegaskan pemerintah daerah wajib mendukung penyelenggaraan program jaminan kesehatan dengan besaran 75 persen dari 50 persen atau 37,5 persen realisasi penerimaan yang bersumber dari pajak rokok masing-masing provinsi.

Maftuchan mengatakan, pemerintah tidak bisa mengandalkan pembiayaan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan yang cukup besar hanya dari pajak rokok karena tidak terjamin sustainablenya. "Sehingga sumbernya semakin besar. Kalau hanya mengandalkan cukai rokok, sustainablenya tidak akan terjamin," ujar dia.

Selain itu, dia menambahkan, akuntabilitas internal dari BPJS Kesehatan juga perlu ditingkatkan seperti memperkuat pengawasan. Bahkan bila perlu dilakukan perombakan pimpinan BPJS Kesehatan secara besar-besaran karena dinilai tidak profesional.

Sebagai informasi, BPJS Kesehatan mencatat, defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 mencapai Rp 16,5 triliun. Rincian tersebut terdiri dari defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya