Liputan6.com, Jakarta - Pesawat Lion Air JT-160 jatuh di perairan Karawang pada Senin pagi (29/10/2018). Sebanyak 189 orang berada di pesawat, termasuk di antaranya bayi, pramugari yang sedang dalam tahap pelatihan, dan pegawai kementerian.
Jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 terjadi setelah dua bulan pesawat tersebut dioperasikan pada 15 Agustus lalu. Pesawat Lion Air ini adalah tipe Boeing 737 Max 8.
Advertisement
Baca Juga
Menurut informasi situs Boeing, saat ini pesawat Boeing 737 Max 8 rata-rata dibanderol sebesar USD 117,1 juta atau setara Rp 1,78 triliun (USD 1 = Rp 15.218).
Keluarga seri 737 Max adalah produksi Boeing yang penjualanannya paling cepat dalam sejarah perusahaan penerbangan tersebut. 737 Max didaulat Boeing memiliki banyak kelebihan dibandingkan pesawat A320 produksi Airbus.
Perbandingan antara 737 Max dengan A320 Airbus beberapa kali ditampilkan secara eksplisit di situs resmi Boeing. Salah satunya menyebutkan bahwa 737 Max butuh waktu perawatan lebih sedikit ketimbang A320.
Lion Air menandatangani pembelian Boeing 737 Max pada 2011 lalu di Bali. Presiden Barack Obama menyaksikan perjanjiian komersial sebesar Rp 195 triliun di KTT ASEAN di Bali pada 18 November 2011. Kemudian, Lion Air memesan 50 pesawat 737 Max 10 pada 2017 lalu di Paris Air Show.
Totalnya, Lion Air memesan 218 keluarga Boeing Max. Sementara, Boeing 737 Max 8 merupakan armada ke-10 yang dioperasikan Lion Air dari pesanan tersebut.
Penjelasan LAPAN Terkait Kondisi Cuaca saat Pesawat Lion Air Jatuh
Lembaga Antariksa dan Penerbangan Negara (LAPAN) menyatakan tidak ada gangguan arah angin di kawasan Laut Jawa saat insiden pesawat Lion Air jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat. Satu-satunya gangguan cuaca yang berdampak ke wilayah Indonesia umumnya, dan Laut Jawa pada khususnya adalah siklon tropis di Filipina.
Menurut anggota tim variabilitas iklim 2018 Pusat Sains dan Teknologi Atsmosfer (PSTA)Â LAPAN, Erma Yulihastin, siklon tropis di Filipina itu hanya berdampak terjadinya pembentukan awan hujan di Indonesia pada sepekan terakhir.Â
Sementara untuk arah angin, didominasi angin timuran dari Australia dan ada peralihan dengan adanya angin dari Asia yang masuk ke Laut Jawa.
"Kalau lihat dari kondisi di Laut Jawanya sendiri selama sepekan terakhir, itu masih dominan angin timuran atau angin musim kemarau. Sehingga memang seharusnya tidak terlalu banyak potensi cuaca ekstrem di laut yang disebabkan karena anginnya masih dominan angin timur seperti itu," kata Erma melalui telepon, Bandung, Senin (29/10/2018).
Erma menjelaskan, rekaman hasil prediksi dari Sadewa LAPAN pada pukul 06.00 WIB tadi, memperlihatkan kondisi angin pada ketinggian sekitar 1,5 kilometer per jam dengan kekuatan antara 1-2 meter per detik.
Sedangkan kondisi awan tebal tebal, kata Erma, pantuan satelit menunjukkan bahwa awan terkonsentrasi dari Utara Jakarta dan tidak tertangkap adanya awan badai dalam skala meso seperti Tornado, puting beliung, angin darat dan laut.
Erma menuturkan untuk mengetahui gangguan cuaca dalam secara rinci, dibutuhkan analisa terhadap cuaca dalam skala lokal. Dia menyebutkan hal itu untuk mengetahui potensi cuaca yang dapat membangkitkan tubulensi parah semisal wind brust (angin yang memotong jalur) atau down brust (angin cepat dari dari atas ke bawah).
"Diperlukan analisa secara lebih dalam untuk hal ini mengingat kondisi cuaca secara lokal, sehingga kemungkinannya dapat diketahui," ujar Erma.
Advertisement