Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan mengharapkan rokok elektrik alias ENDS (Elektric Nicotine-Delivery System) dapat terus meningkat kontribusinya bagi penerimaan negara.
Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar II Ditjen Bea Cukai, Agus Wibowo Setiawan mengatakan, pihaknya berharap kontribusi cukai rokok elektrik dapat mencapai Rp 2 triliun pada 2019.
"Sebenarnya bukan target kami mengharapkan dapat memberikan kontribusi sampai Rp 2 triliun," kata dia dalam acara Peluncuran Rokok Elektrik Bernama 'NCIG' oleh Nasty dan Hex', di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Advertisement
"Dapat bekal itu saja. Diharapkan bisa mencapai Rp 2 triliun," lanjut dia.
Dia mengatakan, pada empat bulan terakhir 2018, kontribusi cukai rokok elektrik terhadap penerimaan cukai sebesar Rp 105 miliar.
Baca Juga
Meskipun kebijakan cukai terhadap Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sudah berlaku pada Juli 2018, tapi cukai rokok elektrik mulai dipungut per 1 September 2018.
"Berlakukan 1 Juli 2018, tapi direlaksasi sampai 1 September 2018, karena mereka harus belajar," ungkapnya.
"(Kontribusi) Rp 105 miliar, tapi itu hanya untuk September sampai Desember (2018). Jadi itu untuk penerimaan selama 4 bulan di tahun 2018," ujar dia.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Pemerintah Disarankan Bedakan Aturan Rokok Elektrik dengan Konvensional
Sebelumnya, Pemerintah disarankan untuk memisahkan aturan mengenai rokok elektrik serta produk tembakau alternatif lainnya dengan produk rokok konvensional.
Saat ini, produk tembakau alternatif masih masuk dalam kategori hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dan diperlakukan sama dengan produk rokok konvensional dengan tarif cukai hingga 57 persen.
Mengacu pada berbagai penelitian ilmiah yang menyimpulkan risiko lebih rendah, tarif cukai produk tembakau alternatif seharusnya lebih kecil dibandingkan rokok konvensional.
Pemerintah maupun akademisi di Indonesia dinilai perlu untuk menelaah kembali melalui penelitian lebih lanjut mengenai produk tembakau alternatif sehingga kebijakan yang disusun dapat lebih komprehensif dan tepat.
"Pemerintah perlu menyusun kerangka kebijakan yang tepat dan sesuai terkait pengaturan produk tembakau alternatif," kata Visiting Professor Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore, Tikki Pangestu, seperti dikutip Jumat 8 Maret 2019.
Keberadaan produk tembakau alternatif diharapkan bisa menjadi salah satu solusi menekan tingginya tingkat konsumsi (prevalensi) merokok masyarakat dewasa di Indonesia. Hal ini telah terbukti di sejumlah negara lain yang sebelumnya mengalami situasi sama dengan Indonesia.
Tikki Pangestu menjelaskan, produk tembakau alternatif merupakan salah satu cara penting mengatasi masalah perokok di Indonesia. "Terutama untuk prevalensi yang sangat tinggi di antara pria Indonesia," tegas Tikki.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan jumlah perokok berusia di atas 15 tahun mencapai 33,8 persen dari total penduduk dewasa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62,9 persen merupakan perokok laki-laki dan 4,8 persen perokok perempuan.
Berdasarkan riset Atlas Tobacco, pada 2016 jumlah perokok di Indonesia mencapai hampir 55 juta orang dan berada dalam tren meningkat. Jumlah ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India.
Tikki menjelaskan sudah banyak penelitian ilmiah yang kuat mengenai produk tembakau alternatif. Salah satu yang terbaru adalah hasil penelitian pakar kesehatan dari berbagai universitas di London, Inggris yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine pada 30 Januari 2019.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement