Rupiah Dibuka Stabil, Potensi Penguatan Terbuka Lebar

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.060 per dolar AS hingga 14.070 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 16 Apr 2019, 11:00 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2019, 11:00 WIB
Nilai tukar Rupiah
Nasabah mengantre menukarkan mata uang USD di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Sebelumnya pada Selasa (4/9), Rupiah sempat mencapai level Rp 14.935 per dollar Amerika atau terlemah sejak 1998. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak stabil pada perdagangan Selasa ini. Analis memperkirakan rupiah bakal menguat pada perdagangan hari ini.

Mengutip Bloomberg, Selasa (16/4/2019), rupiah dibuka di angka 14.060 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.062 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.060 per dolar AS hingga 14.070 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah menguat 2,26 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di di angka 14.066 per dolar AS, tak berbeda jauh dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.067 per dolar AS.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, rupiah berpotensi bergerak positif didorong sentimen domestik yaitu suplusnya neraca perdagangan Maret 2019 yang dirilis Senin kemarin.

"Surplus neraca perdagangan mestinya bisa menjadi sentimen positif penguatan rupiah," ujar Lana, dikutip dari Antara.

Neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2019 mengalami surplus USD 540 juta atau lebih tinggi dari posisi surplus Februari 2019 sebesar USD 330 juta. Surplus neraca perdagangan dipicu oleh menurunnya jumlah impor, terutama impor bahan baku dan penolong.

Namun pada periode Januari-Maret 2019, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit USD 190 juta. Defisit tersebut karena neraca perdagangan nonmigas mengalami surplus, sedangkan neraca perdagangan migasnya defisit.

Dari eksternal, sentimen datang dari neraca perdagangan China pada Maret 2019 yang tercatat surplus. Surplus tersebut dipicu optimisme global yang membaik, ditambah sentimen positif dari potensi kesepakatan perang dagang dengan AS dan berakhirnya faktor musiman Tahun Baru China (Lunar New Year).

"Kemungkinan ekspor China khususnya ke Amerika Serikat (AS) kembali membaik seiring dengan kesepakatan dagang yang mendekati final," kata Lana.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia, Rupiah Langsung Tertekan

Rupiah Tetap Berada di Zona Hijau
Teller tengah menghitung mata uang rupiah dan dolar di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (10/1). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah berada di zona hijau. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 International Monetery Fund (IMF) kembali memangkas perkiraan pertumbuhan global di 2019 menjadi 3,3 persen dari sebelumnya yakni 3,5 persen pada Januari lalu. Penurunan ini pun disebabkan oleh ketidakpastian potensial dalam ketegangan perdagangan global yang sedang berlangsung, serta faktor-faktor spesifik negara dan sektor lainnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bima Yudhistira menyatakan bahwa penurunan proyeksi IMF sebesar 3,3 persen tersebut berdampak besar bagi perekonomian Indonesia. Tak terkecuali kepada nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). 

"Dampaknya sangat besar ke perekonomian Indonesia. Nilai tukar Rupiah mulai mengalami koreksi hingga siang ini sebesar 0,21 persen ke level Rp 14.163 per USD," katanya kepada merdeka.com, Rabu (10/4/2019).

Bima mengatakan, dengan adanya penurunan ini maka gejala perlambatan ekonomi akan berlanjut sepanjang tahun. Dia pun memperkirakan. ekonomi Indonesia diproyeksi hanya tumbuh 5 persen tahun 2019 dan bisa terkoreksi ke 4,9 persen.

Dengan kata lain, perlambatan ini juga akan berdampak pada penurunan proyeksi ekspor Indonesia, dan hasilnya neraca perdagangan masih mencatatkan defisit. Para pelaku usaha pun dikhawatirkan akan melakukan efisiensi dibeberapa bidang, baik biaya produksi hingga jumlah tenaga kerja.

"Sektor yang paling terpukul adalah harga komoditas seperti sawit dan karet makin rendah. Pertambangan prospeknya juga negatif khususnya batubara. Dari dalam negeri, dipastikan efek slowdown mulai terasa ke sektor manufaktur," jelas Bima.

IMF Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia

Logo IMF
(Foto: aim.org)

The International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global di 2019. Peningkatan ketegangan perdagangan dan kebijakan pengetatan moneter yang dijalankan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menjadi landasan pemangkasan tersebut.

Mengutip CNBC, Rabu (10/4/2019), IMF mengatakan bahwa mereka mengharapkan ekonomi dunia tumbuh di angka 3,3 peren di tahun ini. Angka tersebut turun dari perkiraan sebelumnya yang ada di angka 3,5 persen.

Sedangkan untuk 2020, IMF cukup optimistis dengan memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh di angka 3,6 persen.

Laporan dari IMF ini keluar ketika kongres AS berjuang untuk meloloskan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA) yang merupakan perjanjian perdagangan yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump denga mitra Meksiko dan Kanada. Perjanjian ini menggantikan perjanjian sebelumnya yaitu North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA).

Sementara itu, saat ini pemerintahan Presiden Trump juga masih terus berjuang untuk menuntaskan kesepakatan perdagangan dengan China.

"Neraca risiko condong untuk mengarah ke penurunan," tulis laporan IMF.

Kegagalan menyelesaikan perbedaan yang mengakibatkan hambatan tarif yang menyebabkan biaya yang lebih tinggi dari barang setengah jari dan barang jadi. Hal tersebut membuat harga barang menjadi lebih tinggi bagi konsumen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya