Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2019 hanya naik tipis apabila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar 5,06 persen. Dia menyebut, kisaran pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal berada di atas 5,1 persen.
"Mestinya dia (pertumbuhan ekonomi kuartal I 2019 akan di 5,1 persen atau di atas itu," kata Darmin saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Darmin menyebut salah satu alasan kenapa pertumbuhan ekonomi hanya naik tipis lantaran di sektor pertanian sendiri masih rendah. Rendahnya sektor tersebut secara otomatis membuat konsumsi menjadi lesu.
Advertisement
"Liatnya mulai dari sektor pertanian itu di kuartal I 2019 mungkin belum banyak benar itu kan berakhir Maret. Sementara April puncaknya panen, jadi dari pertanian mungkin di tahun lalu kan agak melambat betul panennya," pungkasnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,2 persen di kuartal I tahun 2019. Konsumsi bakal menjadi faktor utama yang menopang pertumbuhan ekonomi.
"Kuartal I tahun 2019 ini (pertumbuhan ekonomi) bisa mencapai 5,2 persen," kata dia, di Gedung BI, Kamis (25/4/2019).
Dia menjelaskan, konsumsi yang tetap tinggi tersebut, didukung oleh terjaganya daya beli dan keyakinan masyarakat serta berlanjutnya stimulus fiskal, termasuk melalui bantuan sosial dan belanja terkait Pemilu 2019.
"Investasi sedikit melambat sejalan pola musiman awal tahun dan diprakirakan kembali menguat pada triwulan-triwulan berikutnya didukung keyakinan dunia usaha yang membaik serta proyek infrastruktur yang berlanjut," ujarnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bank Dunia: Ekonomi China Turun, Indonesia Bisa Bertahan
Bank Dunia membahas pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik yang akan sedikit melemah tahun ini. Pertumbuhan tahun ini adalah 6,0 persen, sementara tahun lalu 6,3 persen.
Penyebabnya adalah tantangan global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi China. Ekonomi China diprediksi melemah tahun ini menjadi 6,2 persen, sementara tahun 2018 sebesar 6,6 persen.
Tantangan global memberi risiko 500 juta orang terancam kembali jatuh miskin. Namun, Bank Dunia percaya wilayah Asia Timur dan Pasifik akan tetap kuat karena permintaan domestik mampu mengimbangi perlambatan ekspor.
BACA JUGA
"Pertumbuhan ekonomi yang tangguh di kawasan ini sepatutnya berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan lebih lanjut, yang kini telah mencapai posisi terendah dalam sejarah. Hingga tahun 2021, kami memperkirakan kemiskinan ekstrem akan turun di bawah 3 persen, ujar Victoria Kwakwa, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, dalam pernyataan yang diterima Liputan6.com.
Lantas bagaimana nasib Indonesia? Bank Dunia menyebut ada sejumlah negara di Asia Tenggara yang ekonominya akan ikut melemah tahun ini, tetapi Indonesia termasuk yang mampu bertahan.
Bagi Indonesia dan Malaysia, perlambatan ekonomi China diprediksi tidak ikut menyeret turun ekonomi, melainkan masih stabil seperti tahun sebelumnya.
Berdasarkan laporan Bank Dunia yang rilis awal tahun ini berjudul Darkening Skies, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 dan 2019 akan sama-sama 5,2 persen meski ekonomi dunia mengalami perlambatan.
Ini berbeda dari pertumbuhan Thailand dan Vietnam diperkirakan akan sedikit lebih rendah pada 2019. Sementara itu, penundaan pengesahan anggaran pemerintah nasional di Filipina untuk tahun 2019 diperkirakan akan membebani pertumbuhan PDB pada 2019, tetapi pertumbuhan diperkirakan akan meningkat pada 2020.
Akan tetapi Bank Dunia, turut memberi peringatan soal faktor global. Berikut penjelasan Bank Dunia:
Advertisement
Dunia Harus Tetap Waspada
Bank Dunia yakin prospek ekonomi Asia Timur dan Pasifik umumnya tetap positif. Dengan catatan, pemerintah perlu mewaspadai faktor tekanan yang meningkat sejak tahun 2018 dan masih bisa berdampak buruk, salah satunya perang dagang.
"Berlanjutnya ketidakpastian akibat beberapa faktor termasuk perlambatan lebih lanjut di negara maju, kemungkinan perlambatan yang lebih cepat dari perkiraan di Tiongkok, dan ketegangan perdagangan yang belum terselesaikan,” kata Andrew Mason, World Bank Acting Chief Economist for the East Asia and Pacific.
Solusi dari Bank Dunia terdiri atas solusi jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek, laporan Bank Dunia mengangkat perlunya penguatan penyangga, termasuk membangun kembali cadangan internasional yang diambil untuk mengelola gejolak nilai tukar pada tahun 2018.
Kebijakan moneter juga disarankan perlu disesuaikan agar lebih netral karena risiko arus keluar modal telah berkurang. Bank Dunia menyoroti pentingnya reformasi struktural yang berkelanjutan dalam jangka menengah – untuk meningkatkan produktivitas, mendorong daya saing, menciptakan peluang yang lebih baik untuk sektor swasta, dan memperkuat modal manusia.
Selain itu, investasi berkelanjutan pada program bantuan sosial dan asuransi untuk melindungi mereka yang paling rentan. Ini mengingat daerah Asia Timur dan Pasifik memiliki cakupan bantuan sosial terendah bagi dua puluh persen penduduk termiskin dibandingkan wilayah berkembang lainnya.