DBS: Kebijakan Pemerintah Indonesia Berhasil Turunkan Impor

DBS mencatat persentase impor yang turun secara tahunan adalah barang konsumsi (13,3 persen).

oleh Tommy K. Rony diperbarui 23 Apr 2019, 11:45 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2019, 11:45 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor dan impor Indonesia mengalami susut signifikan di Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pemerintah Republik Indonesia untuk mengurangi impor dinilai berhasil oleh analis asing. Neraca perdagangan pada Maret dan Februari tercatat surplus pada masing-masing USD 540 juta dan USD 330 juta.

Berdasarkan laporan DBS, neraca perdagangan berhasil surplus selama dua bulan berturut-turut pada bulan Maret. Sejumlah faktor penurunan impor adalah menurunnya harga minyak, pelemahan rupiah, dan lemahnya pertumbuhan investasi.

Selain itu, sejumlah kebijakan moneter pemerintah yang ketat juga menjadi penentu dalam mengekang impor dan meningkatkan neraca perdagangan.

"Langkah itu termasuk kenaikan pajak impor (PPH 22) untuk hampir 1.000 barang konsumsi, persyaratan untuk menggunakan bahan bakar campuran biodiesel (B20) dan rencana menunda impor barang modal untuk beberapa proyek infrastruktur," tulis DBS dalam laporan yang diterima Liputan6.com, Selasa (23/4/2019).

DBS mencatat persentase impor yang turun secara tahunan adalah barang konsumsi (13,3 persen), modal (4,3 persen), dan bahan baku (7,4 persen). Sebagai catatan, impor bahan baku mendominasi impor Indonesia, yaitu 75 persen.

Impor berhasil lebih melambat meski ada pelambatan ekspor karena lesunya ekonomi global. Permintaan ekspor dari kawasan China, Jepang, dan ASEAN tercatat turun. Selain itu, DPS menyebut harga komoditas utama Indonesia seperti batu bara, CPO, dan karet diprediksi tetap datar oleh DBS tahun ini.

Ekonomi China diprediksi melambat tahun ini, namun DBS menyebut stabilisasi ekonomi China membuka kemungkinan meningkatnya ekspor. Neraca perdagangan RI tahun 2019 pun berpotensi membaik.

"Kemungkinan stabilisasi ekonomi Tiongkok dapat mendukung permintaan perdagangan di kawasan ini, termasuk Indonesia," tulis DBS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Neraca Perdagangan Indonesia Surplus USD 540 Juta pada Maret 2019

Aktivitas di JICT
Aktivitas di JICT, Jumat (15/3). Menko Perekonomian Darmin Nasution, mengisyaratkan kekhawatirannya terhadap kinerja impor yang kendur pada Februari 2019, meskipun hal ini membuat neraca perdagangan RI surplus. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus USD 0,54 miliar atau sekitar USD 540 juta pada Maret 2019.

Surplus ini berasal dari ekspor sebesar USD 14,03 miliar dan impor sebesar USD 13,49 miliar. 

"Neraca perdagangan surplus USD 0,54 miliar atau sekitar USD 540 juta," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, pada Senin 15 April 2019. 

Suhariyanto mengatakan, surplus  ini berasal dari sektor nonmigas. Sementara sektor migas Indonesia mesih menyumbang defisit.

"Surplus sebagian besar didukung oleh ekspor non migas, sedangkan migas masih defisit," ujar dia. 

Dari sisi impor, Indonesia pada Maret 2019 mencatatkan impor sebesar USD 13,49 miliar. Angka ini naik jika dibandingkan dengan Februari 2019 sebesar USD 10,31 miliar.

"Meski demikian, posisi impor pada Maret ini mengalami penurunan jika dibandingkan secara year on year yaitu pada Maret 2018 sebesar 6,67 persen," tutur dia.

Ekspor Indonesia Capai USD 14,03 Miliar di Maret 2019

20161018-Ekspor Impor RI Melemah di Bulan September-Jakarta
Ratusan peti kemas di area JICT Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10). Secara kumulatif, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Januari-September 2016, nilai ekspor sebesar US$ 104,36 miliar, turun 9,41% (yoy). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai ekspor Indonesia pada Maret 2019 mencapai USD 14,03 miliar. Angka ini naik 11,71 persen secara month to month (mtm) jika dibandingkan dengan Februari 2019 sebesar USD 12,56 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, meski terjadi kenaikan, namun jika dibandingkan dengan ekspor pada Maret 2018 yang mencapai USD 15,59 miliar terjadi penurunan sebesar 10,01 secara year on year.

"Nilai ekspor Maret 2019 utamanya dipicu kenaikan ekspor non migas, sedangkan ekspor migas mengalami penurunan," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Gedung Pusat BPS, Jakarta, pada Senin 15 April 2019.

Suhariyanto merinci laju ekspor migas di Maret 2019 mengalami penurunan 1,57 persen. Di mana dari USD 1,1 miliar di Februari menjadi USD 1,09 miliar pada Maret tahun ini. "Di sektor migas terjadi penurunan ekspor karena nilai minyak mentah dan hasil minyak yang turun, sementara gas mengalami kenaikan," jelasnya.

Komoditas non migas mengalami kenaikan sebesar 13 persen. Di mana menjadi USD 21,93 miliar di Maret dari bulan sebelumnya yang USD 11,45 miliar.

Komoditas non migas yang mengalami kenaikan ekspor tertinggi yakni bahan bakar mineral sebesar USD 401,4 juta, besi dan baja USD 186,7 juta, lalu bijih, kerak dan abu logam USD 162,9 juta, kertas dan karton USD 69,9 juta, serta bahan kimia organik USD 69,9 juta.

Sedangkan penurunan ekspor non migas terendah yakni perhiasan/permata sebesar USD 31,8 juta, ampas/sisa industri makanan USD 27,3 juta, benda-benda dari besi dan baja USD 9,6 juta, lokomotif peralatan kereta api USD 8,2 juta, serta garam, belerang, kapur USD 6,2 juta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya