Kemenkeu Kaji Dampak Kebijakan Penggabungan Produksi Rokok

Skema penggabungan produksi rokok diharapkan menjadi salah satu solusi dari berbagai persoalan di industri hasil tembakau.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Jul 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2019, 12:00 WIB
Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini sedang mensimulasikan dampak dari rencana penggabungan batasan produksi rokok sigaret Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi tiga miliar batang. Penggabungan produksi tersebut dipercaya menjadi salah satu solusi terhadap berbagai persoalan terkait industri hasil tembakau.

Kepala Bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Kemenkeu Nasruddin Djoko Surjono menyatakan, pembahasan mengenai peraturan tarif cukai, termasuk di dalamnya rencana penggabungan batasan produksi SPM dan SKM terus intensif dilakukan.

“Pembahasan ini sudah di level atas. Ini selalu dibahas. Kemungkinan sekitar Oktober atau November peraturan tarif cukai 2020 akan keluar,” kata dia di Jakarta, Senin (2/7/2019).

Pembahasan mengenai peraturan tarif cukai, termasuk rencana penggabungan produksi SPM dan SKM mencakup beberapa tujuan.  Pertama, pengendalian konsumsi hasil tembakau. Kedua, penyetaraan arena bermain alias level playing field antar pabrikan rokok. Ketiga, meningkatkan kepatuhan. Keempat, kemudahan administrasi. Kelima, pengoptimalan penerimaan negara.

“Tentunya akan ada pembahasan kembali dengan melibatkan stakeholders terkait bersamaan dengan pembahasan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau," ujar Nasruddin.

Selama ini pemerintah menghadapi tantangan besar dalam upayanya menurunkan tingkat konsumsi rokok. Salah satu penyebabnya adalah ketimpangan harga rokok, khususnya di segmen SPM dan SKM di pasaran akibat pemanfaatan celah tarif cukai oleh para pabrikan besar asing.

Saat ini, masih ada pabrikan besar asing SPM dan SKM yang melakukan peghindaran membayar cukai yang lebih tinggi dengan cara menjaga produksinya di bawah tiga miliar batang, yang merupakan ambang batas penetapan tarif cukai tertinggi.

Padahal, jika diakumulasi antara produksi SKM dan SPM, jumlah produksi pabrikan besar asing ini jauh melampaui tiga miliar batang. Celah ini yang membuat pabrikan besar asing menikmati tarif cukai yang lebih rendah sehingga berimbas kepada harga rokok yang lebih murah.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Penggabungan Batasan Produksi Rokok Optimalkan Penerimaan Cukai

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebeleumnya, Dewan Perwakilan Rakyat mengingatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk kembali melanjutkan kebijakan penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Anggota Komisi XI DPR RI, Amir Uskara mengatakan, adanya kebijakan ini akan membantu Kemenkeu yang ingin mengoptimalkan penerimaan negara dari cukai industri hasil tembakau sehingga target cukai pada 2019 dapat tercapai.

“Saya mendorong Kementerian Keuangan untuk melanjutkan kebijakan penggabungan volume produksi SKM dan SPM yang jumlah produksinya di atas 3 miliar batang. Kebijakan ini dapat mencegah pabrikan besar asing melakukan tax avoidance,” ujar dia di Jakarta.

Menurut Amir, penghentian kebijakan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM justru menguntungkan bagi sejumlah perusahaan rokok besar asing. Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut tetap menikmati tarif cukai yang lebih rendah sehingga berhadap-hadapan langsung dengan perusahaan rokok kecil.

"Jangan sampai ada perusahaan rokok besar asing dengan pendapatan triliunan tetapi membayar cukai rokok yang lebih rendah,” ujarnya.

Jika dibiarkan berlarut-larut, Amir memperkirakan kondisi ini akan menciptakan kegaduhan di industri hasil tembakau. Sebab, dengan terus menikmati tarif cukai yang rendah, perusahaan besar akan mematikan pangsa pasar perusahaan kecil. Karena itu, Kemenkeu harus meneruskan kebijakan penggabungan batasan produksi demi menciptakan iklim bisnis yang kondusif.

“Dengan demikian, hal ini dapat menciptakan persaingan adil dan sehat karena pabrikan besar akan bersaing dengan pabrikan besar, sementara pabrikan kecil akan bersaing dengan pabrikan kecil,” kata dia.

Pabrik Rokok Asing Nikmati Tarif Cukai Murah

20151121-Siswa se-Jakarta dan Bandung Serukan Larangan Iklan Rokok di Sekolah-Jakarta
Siswa SMP dari perwakilan delapan sekolah di Jakarta dan Bandung mengikuti kegiatan bertajuk 'Sekolah Tanpa Advertensi Rokok (STAR): Menolak Diam' di Taman Menteng, Jakarta, Sabtu (21/11). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sementara itu Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susanto, menambahkan pabrikan rokok kecil selama ini tertekan dengan pabrikan besar asing yang menikmati tarif cukai murah. Pemerintah, menurut dia, seharusnya mengatasi persoalan ini dengan segera menggabungkan batasan volume produksi SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang. Pabrikan yang jumlah gabungan produksi SKM dan SPM mencapai tiga miliar batang harus membayar tarif cukai tertinggi di masing-masing golongan.

"Jika tidak diakumulasikan antara produksi SKM dan SPM, hal ini menjadi pertanyaan dari aspek keadilan. Berarti perusahaan rokok besar asing menikmati tarif yang lebih murah. Selama ini yang menikmati pembedaan SKM dan SPM ini justru perusahaan asing, bukan perusahaan lokal,” tegasnya.

Dengan penggabungan ini, Heri menjelaskan, tercipta persaingan yang adil dan sehat. "Pengabungan SKM dan SPM supaya pabrik-pabrik besar yang punya brand internasional mainnya tidak seperti sekarang, ada yang golongan satu dan ada yang golongan dua. Dengan digabung, semua pabrik besar, apalagi pabrikan asing, harus naik ke atas , masuk golongan I," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pihaknya akan menutup celah peraturan cukai yang digunakan oleh perusahaan rokok untuk mengalihkan pembayaran cukai yang menggunakan golongan tarif yang lebih murah. “Kami akan tetap fokus mengurangi kelompok industri yang kemudian lari ke kelompok lain atau melakukan evasion atau penghindaran,” ujar Sri Mulyani pada Februari 2019 lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya