Liputan6.com, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk menaikkan besaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan bagi anggota mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU).
Menurut dia, kenaikan iuran tersebut akan memberatkan masyarakat dan juga bukan solusi untuk menyelesaikan defisit.
Dia menilai, defisit anggaran BPJS Kesehatan merupakan bukti ketidakmampuan managemen BPJS dalam mengelola penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Oleh karena itu, sambungnya, tidak seharusnya kegagalan direksi itu dibebankan kepada rakyat dengan menaikkan iuran.
Advertisement
Baca Juga
"Apalagi saat ini beban kehidupan masyarakat sudah berat. Belum lagi dengan adanya gelombang PHK di berbagai sektor industri, yang artinya peserta BPJS Kesehatan yang tadinya masuk dalam kategori pekerja penerima upah akan menjadi peserta mandiri," keluh dia, Kamis (8/8/2019)
"Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Masyarakat justru dibebani dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Padahal secara prinsip kesehatan adalah hak rakyat yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya," dia menambahkan.
Oleh karenanya, lanjut Iqbal, yang seharusnya dilakukan adalah menambah kepesertaan BPJS Kesehatan dan menaikkan besarnya iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD untuk anggaran kesehatan dialokasikan kepada BPJS Kesehatan.
"Cash flow anggaran juga harus diperhatikan. Termasuk sistem INA-CBG's dan kapitasi perlu dikaji kembali, sebab disitu banyak potensi kebocoran dan penyelewengan," tegas Iqbal.
Tidak hanya menolak usulan DJSN untuk menaikkan iuran peserta mandiri, ia juga menolak penonaktifan 5,2 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Dia berpendapat, ketika peserta PBI dinonaktifkan, maka secara otomatis mereka akan menjadi peserta mandiri.
"Padahal penerima PBI adalah masyarakat miskin, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk membayarkan iurannya," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Peserta Penerima Bantuan Iuran
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Jamkes Watch, Iswan Abdullah. Langkah menonaktifkan 5,2 juta peserta PBI dengan alasan peserta NIK KTP-nya belum tercatat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kemudian ada yang sejak 2014 tidak pernah mengakses layanan kesehatan ke faskes yang telah ditentukan, merupakan pelanggaran serius terhadap hak rakyat untuk mendapatkan jaminan kesehatan.
"Kebijakan yang salah kaprah hanya gara-gara kartu BPJS nya tidak pernah digunakan lantas haknya untuk mendapatkan PBI dicabut," kata Iswan.
"Seharusnya pemerintah berterima kasih kepada peserta BPJS Kesehatan yang tidak pernah menggunakan kartu BPJS nya. Bukannya malah dihukum dengan dinontaktifkan (PBI-nya)," lanjutnya.
Alasan NIK KTP yang tidak tercatat juga dinilainya tidak relevan. Iswan berpendapat, seharusnya terlebih dahulu dilakukan pengecekan by name by address sebelum dicabut untuk memastikan keberadaan yang bersangkutan. "Jangan sampai permasalahan administratif mengalahkan substansi," tukasnya.
Advertisement
Serikat Buruh Migran Indonesia Pulangkan 2 Korban Perdagangan Manusia
Serikat Buruh Migran Indonesia kembali berhasil memulangkan 2 (dua) orang perempuan korban pengantin pesanan di negara China. Sampai bulan Juli 2019, SBMI telah menerima aduan kasus korban TPPO (Tindak Pidana Perdangangan Orang) bermodus pengantin pesanan ke negara China sebanyak 26 kasus.
Sebanyak 14 orang berasal dari Kalimantan Barat, 7 (tujuh) orang dari Jawa Barat, 2 (dua) orang dari Tangerang, 1 (satu) orang dari Jawa Timur, 1 (satu) orang dari Jawa Tengah, dan 1 (satu) orang dari DKI Jakarta. Dari kasus yang masuk ke SBMI, sebanyak 7 (tujuh) orang sudah berhasil dipulangkan ke Indonesia, 2 (dua) orang berhasil digagalkan berangkat, Selebihnya masih dalam proses penanganan.
Berdasarkan pengalaman penanganan kasus korban pengatin pesanan di SBMI, para korban berada dalam situasi rentan. Situasi rentan itu antara lain:
Sebelum Menjadi Korban TPPO bermodus Pengantin PesananDari kesaksian 26 korban TPPO bermodus pengantin pesanan diketahui mereka memiliki latar belakang ekonomi yang kurang mampu, korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan oleh pasangannya, dan kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan.
Situasi diatas merupakan beberapa faktor pendorong yang mengakibatkan perempuan korban TPPO bermodus pengantin pesanan mudah ditipu oleh mak comblang atau perekrut dengan berbagai iming-iming.
Mengubah ekonomi menjadi lebih baik, dengan alasan suaminya nanti adalah anak orang kaya, bekerja sebagai arsitek, dengan gaji 25 juta, sehingga bisa mengirim uang kepada orang tua yang mengasuh anak dan tambahan uang untuk membangun rumah yang belum selesai.
Dari tawaran mak comblang atau perekrut menyampaikan bahwa risiko untuk korban sangat kecil. Untuk memuluskan bisnis perdagangan perempuan bermodus pengantin pesanan ini perekrut tidak segan memalsukan dokumen korban. Korban tidak menyadari bahwa dengan adanya pemalsuan dokumen pribadi (nama, umur, dan agama), maka korban rentan dihapus sejarah hidup serta sudah menjadi korban TPPO.
Sebagian dari korban merasa berdosa karena ternyata sesampai disana tidak dinikahkan. Dan jikapun menikah, maka dipaksanakan menikah dengan cara agama berbeda dari agama yang dianutnya, sementara korban tidak bisa menolak hasrat seksual dari suaminya.
Pada saat korban menolak melakukan hubungan badan, maka korban akan mendapat kekerasan (pemukulan, leher diikat dengan tali dan ditarik dari belakang, telapak tangan teriris pisau hingga berdarah, ditelanjangi oleh mertua perempuan yang ingin segera mendapat momongan, dipukul dari belakang karena korban lari untuk menghindar, suami tidak percaya penolakan korban ketika menolak dengan alasan sedang menstruasi.
Kekerasan lain juga terjadi, misal diinfus selama lebih dari seminggu padahal korban tidak merasa sakit. Akibat dari mallpraktik ini, korban mengalami pusing-pusing, hampir pingsan dan tidak bisa tidur sampai jam lima pagi, serta disuruh tidur dihalaman rumah pada musim dingin di China tanpa diberi selimut.