Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia melaporkan kepada Presiden Joko Widodo bahwa berbagai masalah geopolitik bisa memberi dampak negatif pada ekonomi Indonesia. Reformasi bisnis pun dibutuhkan menghadapi situasi ini.
Menurut presentasi Bank Dunia bertajuk Global Economic Risks and Implications for Indonesia, ekonomi Indonesia disebut bisa turun hingga 4,9 persen pada 2020. Angka itu juga cukup jauh dari target pertumbuhan pemerintah yakni 5,3 persen.
Advertisement
Baca Juga
Hal yang mengancam perekonomian adalah memanasnya perang dagang, bertambahnya adu tarif, dan menjalarnya perang dagang ke sektor teknologi (Huawei). Perang dagang pun bisa berubah menjadi perang mata uang antara dolar dan yuan.
Bank Dunia menyebut perang dagang juga ditemani beberapa peristiwa geopolitik lain yang bisa menambah risiko ekonomi. Di antaranya Brexit, Pemilu AS di 2020, ketegangan dagang Jepang-Korsel, protes Hong Kong, sanksi Iran, konflik bayangan dengan Israel, restukturisasi utang Argentina dan krisis Kashmir.
Sementara, Indonesia juga terancam lemahnya produktivitas dan pertumbuhan tenaga kerja dalam negeri. Lantas apa solusi Bank Dunia?
Bank Dunia menyarankan agar Indonesia menjadi negeri yang lebih ramah investasi. Perlambatan perizinan juga dipandang sebagai alasan kenapa pabrik dari China ogah pindah ke Indonesia.
"Memindahkan pabrik dari China ke Indonesia memiliki risiko yang rumit, dan butuh waktu setidaknya setahun bahkan lebih, sementara proses di di Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Taiwan lebih jelas dan singkat," jelas Bank Dunia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Industri Indonesia Terputus dari Rantai Global
Bank Dunia menyebut Indonesia terputus dari rantai suplai manufaktur global karena Non-Tariff Measures yang membuang-buang waktu dan memakan biaya. Ini pun memberi dampak ke ekspor mobil listrik Indonesia.
Contoh yang memperlambat industri adalah pre-shipment inspection (laporan surveyor) yang dilakukan dua BUMN Sucofindo dan Sruveyor Indonesia, persetujuan impor dan recommendation letter, kemudian adalah lagi urusan dengan SNI.
"Surat rekomentasi dari Kementerian Perindustrian untuk impor harusnya maksimal lima hari saya, tetapi biasanya harus menunggu antara tiga sampai enam bulan atau lebih lama lagi," tulis Bank Dunia.
Ekspor Indonesia dipandang tak kompetitif karena kebanyakan input untuk barang ekspor justru terkena tarif impor, misal 15 persen untuk ban, 10 persen untuk petrol engine, dan 15 persen untuk gulungan baut.
Restriksi pada Foreign Direct Investment karena Daftar Negatif Asing juga membuat harga logistik lebih mahal. Harga listrik Indonesia pun lebih mahal ketimbang negara-negara tetangga.
Advertisement
Reformasi yang Dibutuhkan
Insentif pajak dipandang tidak akan menyelesaikan masalah. Solusi Bank Dunia adalah agar Indonesia melaksanakan reformasi tegas yang menunjukan kredibilitas, kejelasan, dan kepatuhan pada kebijakan presiden.
Dalam hal kredibilitas, Bank Dunia menyarankan agar menghilangkan surat-surat rekomendasi, pre-shipment inspection, dan tarif impor, Verifikasi SNI juga diminta diganti menjadi self-certification.
Pemerintah juga diminta memudahkan izin kerja bagi profesional kerja agar memudahkan investor mempekerjakan orang yang tepat untuk mengembangkan bisnis.
Kejelasan dibutuhkan agar ada konsistensi, menghilangkan kontradiksi, dan memastikan konsultasi bersama publik terbuka dan seimbang.
Terakhir, Bank Dunia menyebut pemerintah sudah melakukan usaha dalam reformasi bisnis, tetapi dalam praktiknya kepatuhan amat rendah.
Pemerintah pun disarankan memperkuat badan yang mengawasi regulasi level bawah yang kebijakannya bertentangan dari regulasi pemerintah. Sanksi diperlukan agar membuat kapok pejabat yang tindakannya melemahkan atau melenceng dari arahan kebijakan presiden.