Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pihak swasta tidak terlalu tertarik untuk terlibat dalam proyek pembangunan ibu kota baru. Salah satu penyebab, sebut dia, terkait dengan kondisi ekonomi global yang sedang mengalami penurunan.
Diketahui, dalam rancangan Pemerintah, biaya pembangunan ibu kota baru yang berasal anggaran sebesar 19 persen. Sisanya pemerintah akan mengundang keterlibatan badan usaha.
"Infrastruktur bangun sana sini, swasta tuh nggak banyak yang minat. Soalnya kondisi ekonomi sekarang lagi nggak enak," kata dia, di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, jangka waktu balik modal yang panjang, lanjut Bhima, juga menjadi alasan pihak swasta tidak terlalu berminat pada proyek infrastruktur.
"Dan infrastruktur itu proyek yang jangka panjang sekali baru kembali modal," imbuhnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Data Bank Dunia
Hal tersebut, kata dia, diperkuat dengan laporan Bank Dunia, yang menyatakan pihak swasta hanya berkontribusi 10 persen dari total proyek infrastruktur.
"Faktanya dari data Bank Dunia pernah bilang, keterlibatan swasta dalam proyek infrastruktur kurang dari 10 persen. Jadi 100 persen kue itu, 10 persen itu swasta," ujar dia.
"Itu kan sebenarnya ada di dalam laporan Bank Dunia pada waktu itu dia mengevaluasi infrastruktur. Infrastruktur di Indonesia. Jadi dalam range yang cukup panjang. Kalau tidak salah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir," tandas Bhima.
Â
Reporter:Â Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Ada Ancaman Resesi Ekonomi, Pemindahan Ibu Kota Harus Dikaji Ulang
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini global sedang menghadapi ancaman resesi. Fakta ini harus menjadi pertimbangan Pemerintah untuk mengkaji lagi rencana pemindahan ibu kota.
"Sekarang isunya 2020 kita menghadapi resesi global," ujar dia, di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Sejumlah negara, lanjut dia, bahkan sudah terkena imbas turunnya kinerja perekonomian global. Negara-negara tersebut, seperti Jepang, Turki, dan Argentina.
"Jepang sudah resesi. Turki sudah resesi. Argentina dua kali nggak bisa bayar hutang. 2020 Amerika Serikat banyak yang memprediksi akan terjadi resesi pertumbuhan ekonominya selama beberapa bulan terus turun," jelas dia.
Di tengah ancaman tersebut, dia menilai, langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga dan memperkuat struktur ekonomi nasional. Dengan demikian Indonesia dapat menghadapi turunnya ekonomi global dan ancaman resesi.
"Kita maksa pindah ibu kota. Kita harus tanya, Pak Rp 466 triliun. Kasih itu kredit usaha buat UMKM-UMKM karena kalau terjadi krisis ekonomi seperti tahun 1998, yang menjadi penopang itu adalah UMKM," tandasnya.