Menteri Susi Ingatkan Ikan Sidat Langka Akibat Penyelundupan Benih

Pelarangan komersialisasi benih ikan sudah diterapkan sejak lama. Sayangnya, selalu diterabas para penyelundup.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Okt 2019, 18:31 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2019, 18:31 WIB
Mengenal Sidat, Ikan yang Tak Kalah Bergizi dari Salmon
Ikan sidat terkenal hanya mau hidup di perairan yang bersih. Ia berkembang di air tawar, tetapi berkembang biak di laut. (dok. bpsplpadang.kkp.go.id/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan penyelundupan benih mengancam keberlangsungan sektor perikanan dan kelautan. Masyarakat juga terancam kehilangan jenis ikan yang bergizi.

Dia mencontohkan ikan sidat. Akhir-akhir ini ikan yang temasuk ke dalam famili Anguillidae tersebut makin sulit ditemukan.

"Ikan sidat dulu kita bisa makan di warung. 15 tahun terakhir tidak bisa lagi. Langka. Tahu-tahu sudah masuk dalam sites. Karena dalam 15 tahun terakhir dilakukan penangkapan bibit-bibitnya," kata dia, di Gedung Mina Bahari, Jakarta, Rabu (9/10/2019).

"Yang tersisa sekarang di kita cuma belut saja. Belut itu kurang omeganya. Lebih baik ikan sidat. Nanti orang Indonesia makan yang tidak berkualitas. Padahal itu hak rakyat kita," imbuh dia.

Dia mengatakan, pelarangan komersialisasi benih ikan sudah diterapkan sejak lama. Sayangnya, selalu diterabas para penyelundup.

"Peraturan Menteri sudah ada. Tapi tetap diselundupkan. Kebanyakan pergerakan sidat antardaerah itu masuknya ke Batam. Dari Batam ke Singapura. Singapura yang jadi broker, penjual, makelar," ungkap Susi.

Ancaman hukuman tegas bagi penyelundup plasma nutfah yang menanti pun tak membuat jeri para penyelundup.

"Di dunia itu hukuman plasma Nutfah, pencurian, pengambilan secara ilegal bukan untuk kepentingan pendidikan minimal 20 tahun. Itu negara yang sangat keras demokrasinya, HAM-nya kencang, paling tidak diganjar 20 tahun, rata-rata seumur hidup," tegas dia.

Karena itu upaya memberantas penyelundupan benih komoditas perikanan dan kelautan Indonesia harus terus dilancarkan.

"Kita barangkali harus belajar untuk lebih menghargai dan lebih melindungi plasma Nutfah kita. Tidak lucu kalau suatu hari kita harus beli tongkol dari negara lain, atau kakap merah, dari negara lain. Kerapu juga sama," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Umbu

Sumber: Merdeka.com

 

Menteri Susi: Aneh Penenggelaman Kapal Disebut Bikin Investor Kabur

Susi Pudjiastuti
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyentil pihak-pihak yang mempersoalkan pengawasan ketat yang dia lakukan. Terutama berkaitan dengan pernyataan jika pengetatan pengawasan dan penenggelaman kapal bakal bikin investor lari.

"Ada yang bilang katanya investor takut dengan penenggelaman kapal ya tidak benar. Orang mau investasi kok takut penenggelaman kapal. Memangnya yang investasi yang ditenggelamkan," kata dia, di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta, Rabu (9/10/2019).

"Yang ditenggelamkan kan kapal pencuri ikan, yang nyolong. Ada yang bilang investor takut ketegasan ibu Menteri. Aneh," tambah dia.

Dia pun menegaskan, Perpres 44 tahun 2016 secara tegas melarang investasi asing di sektor perikanan tangkap.

"Investasi asing kan oleh Pak Presiden memang tidak boleh oleh Perpres 44 di bidang penangkapan ikan, tapi untuk prosesing, lain-lain, 100 persen sekarang boleh. Bikin pabrik perikanan 100 persen saham asing boleh. Itu keterbukaan kita," tegas dia.

Dia pun menegaskan pengawasan dan pengaturan ketat yang dilakukan justru meningkatkan ketersediaan sumber daya kelautan dan perikanan. Juga meningkatkan produktivitas.

"Sumber daya perikanan dan kelautan kita sangat produktif. Makin dia diatur. Makin dia dijaga makin dia produktif. Jadi orang gila kalau yang berpikir terlalu banyak larangan, bikin ikan susah," ungkap dia.

"Ikan itu makin tambah banyak kalau diatur, jaringnya jangan kecil-kecil, nangkapnya zonasinya kapal besar sekian," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Umbu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya