Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi atau pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 0,41 persen, pada November 2019 dibanding bulan sebelumnya.
"Pada November 2019, Rupiah secara rata-rata mengalami apresiasi 0,42 persen meskipun secara point to point mengalami depresiasi 0,41 persen dibandingkan dengan level akhir Oktober 2019," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, di kantornya, Jakarta, Kamis (20/11/2019).
Advertisement
Baca Juga
Namun kondisi Rupiah tetap stabil sejalan dengan kinerja Neraca Pembayaran Indonesia yang membaik. Sejak awal tahun sampai dengan 20 November 2019 nilai tukar Rupiah tercatat menguat 2,03 persen (ytd).
"Penguatan Rupiah didukung oleh pasokan valas dari para eksportir dan aliran masuk modal asing yang tetap berlanjut," ujar dia.
Perry menjelaskan, hal itu didorong prospek ekonomi Indonesia yang tetap terjaga, daya tarik pasar keuangan domestik yang tetap besar, serta ketidakpastian pasar keuangan global yang sedikit mereda.
"Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar Rupiah tetap stabil sesuai dengan fundamentalnya dan mekanisme pasar yang terjaga.
Prakiraan ini ditopang oleh prospek NPI yang tetap baik seiring berlanjutnya aliran masuk modal asing ke Indonesia dipicu oleh berlanjutnya berbagai faktor positif," ujarnya.
Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar dan memperkuat pembiayaan domestik, Bank Indonesia akan terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik pasar uang maupun pasar valas.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber; Merdeka.com
Tonton Video Ini
Jokowi Beberkan Cara agar Rupiah Bisa Taklukkan Dolar
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, rupiah tidak akan takut melawan dolar jika hilirisasi‎ komoditas mineral dan batubara (minerba) diterapkan, dia pun mengajak pelaku usaha pertambangan menerapkannya.
Jokowi mengatakan, ‎dengan adanya hilirisasi komoditas pertambangan akan mengurangi impor, salah satunya adalah hilirisasi batubara menjadi produk petrokimia dan Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti bahan baku Liqufied Petroleum Gas (LPG).
"Saya berikan contoh, batubara. Gasifikasi. Sekarang dengan teknologi, ternyata, saya juga baru tahu batubara bisa menjadi DME dan menjadi LPG bisa jadi petrokimia, metanol dll. Ngapain kita impor elpiji, ngapain kita impor petrokimia yang besar," kata Jokowi, saat menghadiri pemberian penghargaan IMA, di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Baca Juga
Untuk diketahui, dari. 7,3 Metric Ton (MT) kebutuhan LPG Indonesia dalam satu tahun, 70 persennya atau 5,5 juta MT berasal dari impor.
Menurut Jokowi, dengan menurunnya impor‎ akan meredam defisit neraca perdagangan dan defisit neraca berjalan, sehingga akan memperkuat rupiah. Bahkan tidak ada lagi ketakutan dengan pelemahan rupiah terhadap dolar.
‎"Kalau kita Current Account Defisit dan neraca perdagangan selesai, tidak ada ketakutan mengenai rupiah dengan dolar dan mata uang lain, kan aman kita," tuturnya.
Â
Advertisement