Perda Perpasaran Rugikan Pengelola Mal

Keberadaan Perda Perpasaran ini mempersulit pengusaha mal di Jakarta yang harus menanggung biaya operasional luar biasa besar.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 14 Des 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 14 Des 2019, 10:00 WIB
Tokyo Art of Living
The Loggia menghadirkan TOKYO Art of Living 2020 di Main Atrium Senayan City dari 27 November hingga 1 Desember 2019. foto: istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) terus memprotes adanya Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran. Aturan ini mewajibkan pelaku usaha memberikan ruang efektif sebesar 20 persen secara gratis untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Wakil Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja menilai, keberadaan Perda Perpasaran ini mempersulit pengusaha mal di Jakarta yang harus menanggung biaya operasional luar biasa besar.

"Ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dengan berbagai alasan yang sudah disampaikan. Ketentuan dimaksud dapat mengakibatkan pusat perbelanjaan tutup karena harus menanggung biaya operasional dan menghambat pengembalian biaya investasi yang sangat besar," keluhnya kepada Liputan6.com, Sabtu (14/12/2019).

Dikarenakan sampai dengan saat ini belum ada titik temu untuk mengatasi masalah tersebut, APPBI kemudian memutuskan untuk mengajukan Judicial Review guna mencegah banyak pusat perbelanjaan di DKI tutup akibat dipaksakannya ketentuan itu.

Lebih lanjut, Alphonzus Widjaja mengatakan, kewajiban memberi ruang cuma-cuma sebesar 20 persen kepada UMKM juga akan memberikan efek domino baik kepada pengelola mal maupun pelaku usaha di dalamnya.

Pria yang akrab disapa Alphon ini menjelaskan, banyak mal-mal di Jakarta seperti Thamrin City yang mayoritas atau bahkan sepenuhnya diisi oleh UMKM. Jika Perda Perpasaran diberlakukan, pengelola mal otomatis akan menaikan tarif operasional dan sewa tenant yang ada di sana agar tidak merugi.

"Pengelola pusat perbelanjaan akan membagi itu kepada tenant yang 80 persen bayar. Padahal mayoritas dari 80 persen itu UMKM juga. Kalau Perda ini diterapkan, gimana pajak dan operasionalnya. Kami juga kan bayar kayak yang namanya PBB, biaya listrik ke PLN, dan lain-lain," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

APPBI Sebut Perda Perpasaran Matikan UMKM

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengatakan, pihaknya mengapresiasi Program Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Naik Kelas yang dicanangkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).

Sebab, menurutnya, program tersebut berbanding terbalik dengan kebijakan yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta terkait UMKM melalui kebijakan Perdanya.

"Jangan seperti yang tercantum dalam Perda No 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran. Perda ini mewajibkan Pengelola Pusat Belanja untuk menyediakan ruang usaha sebesar 20 persen untuk UMKM dengan gratis. Bagi APPBI, aturan ini tidak mungkin untuk diterapkan," tegas Stefanus di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

“Kalau itu (perda Perpasaran) bukan naik tingkat, tapi malah membunuh UMKM yang ada,” lanjut dia.

Keharusan bagi para pengelola pusat belanja untuk menyediakan ruang usaha 20 persen dan diberikan secara gratis, justru menurutnya, persaingan antar UMKM nantinya jadi tidak sehat.

"Saat ini sudah ada 50 ribu lebih UMKM yang beroperasi di pusat-pusat belanja," ungkapnya.

Untuk diketahui, terang dia, mal yang ramai saja saat ini jangka waktu untuk bisa balik modal atau Break Event Point (BEP) sekitar 10-11 tahun, bahkan bisa 15-17 tahun.

"Itu artinya jika ditambah kewajiban untuk memberikan ruang usaha 20 persen, BEP-nya menjadi tak terhingga. Para owner bilang, kalau begini kita tutup aja semua. Kalau tutup saya kira, yang dirugikan banyak,” tandas Ridwan.

Yang jelas, kata dia, aturan tersebut juga sulit untuk diterapkan. Sebab untuk pusat perbelanjaan strata title, semua kios sudah laku terjual. Adapun untuk leased mall, pengelola memiliki kontrak dengan penyewa dari 5 hingga 10 tahun.

"Walaupun sewa digratiskan dan service charge-nya kecil, gaji karyawan mereka juga mahal. Apalagi kalau mengikuti jam operasional mall, harus ada tiga shift. Satu kios (UMKM) enggak akan sanggup bayar. Ujung-ujungnya satu orang jaga lima sampai sepuluh counter. Kalau begini bagaimana jualannya?” ungkapnya.

   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya