Liputan6.com, Jakarta - Indonesia baru-baru ini didepak dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) bersama India, China dan Brasil. Gelar negara maju disandang, meskipun beberapa pihak menyatakan hal ini justru bukan kabar membanggakan.
Bagaimana pendapat pengusaha atas pencabutan status Indonesia dari negara berkembang ini?
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, sebenarnya pencabutan ini tidak begitu berpengaruh karena tidak berkaitan dengan Generalized System of Preferences (GSP).
Advertisement
Adapun, GSP adalah pemotongan bea masuk barang impor yang datang dari negara berkembang ke Amerika Serikat.
"Kalau kita lihat kan khawatirnya kena GSP. Tapi sudah diklarifikasi kan kalau itu nggak ada hubungannya. Hubungannya itu cuma dengan WTO, dengan CVD law-nya Amerika," ujar Shinta saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (26/02/2020).
Lebih lanjut, hukum pengenaan tarif anti subsidi atau countervailing duty (CVD) diatur dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) dan dalam hukum tersebut membahas hal teknis implementasi subsidi bea masuk barang impor.
"Jadi ini mencakup investigasi, ada tidaknya subsidi perdagangan, berapa batas toleransi subsidi dan lainnya," imbuhnya.
Memang diakui, mungkin setelah naik status jadi negara maju, Indonesia akan mendapat toleransi subsidi yang lebih rendah. Asal tahu saja, saat masih jadi negara berkembang, toleransi subsidi bea masuk barang impor Indonesia ke Amerika bisa mencapai 2 persen.
"Nah, kalau sudah jadi negara maju mungkin jadi lebih rendah 1 persen. Ini kita masih dapat GSP kok, dan under review untuk kelanjutannya," katanya.
Pun, dampak ke kondisi ekspor Indonesia juga dinilai tidak akan semengerikan yang dibayangkan.
"GSPnya sendiri saat ini sebenarnya cuma USD 1,8 miliar dari total ekspor sebesar USD 21 miliar, meskipun berdampak tapi kan nggak besar-besar amat," kata Shinta mengakhiri.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kepala Bappenas Anggap Indonesia Belum Masuk Negara Maju
Sebelumnya, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) baru saja mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang dan naik sebagai negara maju.
Namun begitu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menganggap Indonesia belum dapat dikategorikan sepenuhnya menjadi negara maju. Melainkan baru naik kelas menjadi negara setengah maju.
"Ini sebenarnya karena Indonesia sekarang masuk di upper middle income. Karena dia masuk di upper middle income, menurut kategori itu Indonesia sudah masuk ke kategori negara setengah maju," ujar dia di Jakarta, pada Senin 24 Februari 2020.
BACA JUGA
Menurut Suharso, Indonesia harus rela melepas beberapa tanggungan jika mau disebut sebagai negara maju. "Jadi karena masuk di negara maju tidak dalam posisi mendapatkan fasilitas-fasilitas yang lebih murah, jangka panjang, dan seterusnya," sambungnya.
Namun demikian, ia mewanti-wanti agar negara tak terlena dengan status baru tersebut. Sebab, Indonesia dikatakannya masih tetap memerlukan bantuan dari negara besar, termasuk Amerika Serikat.
Tetapi saya kira tidak bisa dilihat seperti itu. Kita kan tetap masih di middle income, dan baru saja graduate ke upper middle income. Saya kira kita musti bicara lagi dengan Amerika Serikat. Kita bangga, tetapi kita juga perlu bantuan mereka," ucapnya.
Di sisi lain, Suharso juga tak menampik jika status baru Indonesia sebagai negara setengah maju ini akan turut memperlancar masuknya investasi asing. "Ya lebih melancarkan," tukasnya pendek.
Advertisement