Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menyelidiki praktik pelanggaran penjualan paket rappid test atau tes cepat untuk mendeteksi virus covid-19 di sejumlah rumah sakit.
Penelitian itu berasal dari inisiatif KPPU setelah komisioner melihat adanya tren penawaran rapid test yang dijual sepaket dengan pemeriksaan kesehatan lainnya.
"Kami mendapat banyak informasi bahwa terdapat beberapa rumah sakit menawarkan layanan rapid test yang diikuti penawaran paket layanan kesehatan lainnya. Ini cukup merugikan masyarakat yang hanya ingin melakukan rapid test atau pengecekan atas virus tersebut." kata Komisioner KPPU, Guntur Saragih, melalui siaran pers yang pada, Rabu (14/4).
Advertisement
Bahkan berdasarkan temuan sementara KPPU harga paket yang ditawarkan rumah sakit bervariasi, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 5,7 juta untuk satu kali pengujian. Tentunya nilai tersebut membatasi kemampuan masyarakat untuk membeli layanan rapid test.
Guntur pun berjanji bahwa penelitian ini menjadi prioritas di KPPU untuk dapat diperoleh hasilnya dalam waktu dekat. Bahkan, jika hasil penelitian menunjukkan adanya bukti pelanggaran, maka akan dilakukan ke tahap penyelidikan.
Oleh karenanya saat ini KPPU terus mengumpulkan data penguat di wilayah Jabodetabek maupun daerah lainnya di bawah pengawasan Kantor Wilayah KPPU.
KPPU juga mendorong masyarakat agar aktif melapor jika ada dugaan pelanggaran UU No. 5/1999 , khususnya yang dilakukan oleh rumah sakit terhadap calon pasien yang melakukan rapid test covid-19.
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Paket Layanan Tambahan
Hal senada disuarakan Direktur Investigasi KPPU, Gopprera Panggabean yang mengatakan bahwa pihaknya akan berfokus pada pendalaman penawaran paket layanan tambahan untuk memperoleh layanan rapid test apakah merupakan produk tambahan yang wajib (complementary product) atau tidak.
Selain itu, jajarannya juga akan mendalami apakah paket layanan tersebut merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk mendiagnosis pasien covid-19.
"Jika produk tambahan tersebut bukan komplementer, maka hal ini berpotensi melanggar norma pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999," lanjut Gopprera.
Untuk diketahui, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.er
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Advertisement