Top 3: AirAsia Kembali Mengudara di Langit Indonesia Mulai 18 Mei 2020

Berikut ini tiga artikel terpopuler di kanal bisnis Liputan6.com pada Selasa (5/5/2020)

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 05 Mei 2020, 06:30 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2020, 06:30 WIB
Pesawat Air Asia
Pesawat AirAsia. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Maskapai penerbangan PT AirAsia Indonesia Tbk memutuskan untuk kembali membuka rute penerbangan bagi penumpang pasca sempat ditutup akibat penyebaran pandemi virus corona (Covid-19) per Maret 2020.

Direktur Utama PT AirAsia Indonesia Tbk Veranita Yosephine Sinaga mengatakan, penerbangan penumpang pertama yang akan dibuka justru berada di dua rute internasional, yakni Kuala Lumpur-Surabaya dan Johor Bahru-Surabaya.

Artikel mengenai kembali mengudaranya AirAsia di langit Indonesia ini menjadi salah satu artikel yang banyak dibaca. Selain itu masih ada beberapa artikel lain yang layak untuk disimak.

Lengkapnya, berikut ini tiga artikel terpopuler di kanal bisnis Liputan6.com pada Selasa (5/5/2020):

1. AirAsia Mulai Buka 2 Penerbangan ke Malaysia per 18 Mei 2020

Maskapai penerbangan PT AirAsia Indonesia Tbk memutuskan untuk kembali membuka rute penerbangan bagi penumpang pasca sempat ditutup akibat penyebaran pandemi virus corona (Covid-19) per Maret 2020.

Direktur Utama PT AirAsia Indonesia Tbk Veranita Yosephine Sinaga mengatakan, penerbangan penumpang pertama yang akan dibuka justru berada di dua rute internasional, yakni Kuala Lumpur-Surabaya dan Johor Bahru-Surabaya.

"Kita akan mulai beraktivitas kembali 18 Mei, dimulai dari dua rute internasional, Kuala lumpur-Surabaya dan Johor Bahru-Surabaya," ucap dia dalam sesi teleconference, Senin (4/5/2020).

Wanita yang akrab disapa Vera ini menjelaskan, kedua rute tersebut jadi pilihan lantaran Pemerintah Malaysia dinilai efektif dalam menekan pandemi Covid-19. Sehingga Negeri Jiran kini cenderung aman untuk didatangi.

Baca artikel selengkapnya di sini

2. AS-China Kembali Memanas, Bagaimana Nasib Harga Emas Pekan Ini?

20151109-Ilustrasi-Logam-Mulia
Ilustrasi Logam Mulia (iStockphoto)

Harga emas telah berhasil kembali ke level USD 1.700 per ons pada perdagangan Jumat pekan lalu ketika Presiden AS Donald Trump menaikkan tekanan geopolitik dengan mengancam tarif baru terhadap China atas krisis virus Corona.

Namun, untuk pekan lalu emas turun lebih dari 1,5 persen. Meski demikian, para analis yakin bahwa logam mulia akan bergantung pada meningkatnya ketegangan geopolitik dan data ekonomi yang lebih buruk minggu ini.

Dikutip dari Kitco, Senin (4/5/2020), Pakar Logam Gainesville Coins, Everett Millman mengatakan yang harus diwaspadai pada minggu ini adalah ketegangan AS-China dengan pasar yang mengincar potensi eskalasi dari kedua belah pihak.

"Itu benar-benar sesuatu yang seharusnya ada di radar semua orang karena itu bisa menjadi sangat buruk dengan sangat cepat," katanya.

Baca artikel selengkapnya di sini

3. Ini Alasan Pemerintah Tak Kunjung Turunkan Harga BBM

Harga Pertamax Naik
Petugas mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke kendaraan konsumen di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Senin (2/7). PT Pertamina (Persero) secara resmi menaikkan harga Pertamax Cs akibat terus meningkatnya harga minyak dunia. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan alasan pemerintah belum juga menurunkan harga BBM di tengah penurunan harga minyak dunia. Menurutnya, salah satu alasan pemerintah adalah harga minyak dunia dan kurs yang belum stabil.

"Pemerintah masih menjaga harga tetap karena harga minyak dunia dan kurs masih tidak stabil serta dapat turun," ujar Arifin saat memberi keterangan dalam rapat kerja virtual bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (4/5).

Menyikapi kondisi ini, beberapa badan usaha melakukan aksi korporasi antara lain memberikan diskon terhadap pelanggan. "Dan dipikirkan juga para nelayan yang menggunakan solar dan LPG didaerah yang memang kesulitan biaya kerjanya," jelasnya.

Pemerintah terus memantau perkembangan harga minyak dunia yang belum stabil atau memiliki volatilitas yang cukup tinggi. Selain itu, pemerintah juga menunggu pengaruh dari pemotongan produksi OPEC+ sekitar 9,7 juta barel per hari pada Mei – Juni 2020.

Baca artikel selengkapnya di sini

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya