BPDPKS Pro Petani Sawit atau Konglomerat?

pemerintah mencari cara bagaimana agar harga tandan buah segar sawit terus naik.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 29 Jun 2020, 14:05 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2020, 14:05 WIB
Panen Sawit
Tandan buah sawit ditimbang setelah panen yang dilakukan warga Desa Penyang Kecamatan Telawang Kabupaten Kotawaringin Timur. (foto: Dokumentasi Save Our Borneo.)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menegaskan bahwa pihaknya sangat mengedepankan kepentingan petani sawit dibanding dengan kepentingan konglomerat.

“Sebenarnya dari awal BPDPKS ini didirikan semangatnya bagaimana kita bisa membantu semua, untuk menjaga kepentingan pertanian rakyat,” kata Ketua Dewan Pengawas BPDPKS Rusman Heryawan, dalam webinar, Senin (29/6/2020).

Apabila bicara tentang kelapa sawit bukan hanya perkebunan saja melainkan juga termasuk industri. Di sini, sektor industri yang mengelola kurang lebih 16,3 juta hektare lahan sawit terbagi dalam beberapa kelas.

Pertama sebanyak 51 persen lahan sawit dikelola oleh perusahaan besar, kedua sebanyak 41 persen ada di petani sawit rakyat, ketiga atau sisanya kurang dari 10 persen ada di Perkebunan Nusantara atau (PTPN).

Memang awalnya PTPN ini mengelola 100 persen lahan sawit, namun dengan adanya dinamika yang terjadi, maka perusahan swasta dan sawit rakyat lebih dominan dibanding PTPN.

“Ini yang pertama kita masuk ke sana, karena menjelang 2015 awal yang kita lihat harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit itu meluncur ke bawah turun sangat drastis, dan sangat dirasakan petani, karena harga TBS itu Rp 1000 per kg,” ujarnya.

Kemudian pemerintah mencari cara bagaimana agar harga TBS sawit ini naik. Memang sebelum tahun 2015, atau tahun-tahun sebelumnya harga TBS sawit itu murni sampai Rp 2000/kg, itulah zaman-zaman ke emasan sawit.

“Tapi mendekati 2015 itu menjadi bahkan di bawah Rp 1.000 per kg. kemudian kalau di keluarkan lagi biaya ongkos angkutan akhirnya banyak sekali petani sawit yang sulit memanen, sehingga petani tidak dapat apa-apa, sangat tidak menarik waktu itu. Padahal setiap petani sudah terlanjur membuang waktu dan uang untuk investasi menanam sawit, itulah yang menjadi kerisauan kita di tahun 2015,” ungkapnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Harga

20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Oleh karena itu poin pentingnya, kata Rusman adalah menjaga harga agar petani tidak terombang-ambing. Sebenarnya yang pihaknya bela itu memang kaum petani. Dengan caranya meningkatkan supaya ada keseimbangan persepktif internasional dan kesimbangan supply dan demand sawit ini dikonsumsi sendiri dalam negeri.

“Tapi tidak bisa kita konsumsi semua dalam bentuk minyak goreng maupun produk turunan, ada program yang lebih nendang, yakni membakar dan membuat program mandatori biodiesel, sekarang B30 yang menyerap kira-kira kalau normal tanpa ada covid-19 itu kita targetnya 9,6 juta kilo liter untuk biodiesel,” ujarnya.

Demikian Rusman mengatakan penyerapan dan membuat program mandatori biodiesel ini signifikan dalam menyerap produk sawit kita, memang tidak akan dirasakan langsung oleh petani.

“Malah biodieselnya yang dibantu, tapi sebenarnya yang indirect akhirnya yang dirasakan petani adalah TBS nya akan terasa, kembali lagi tujuan didirikan BPDKS ini untuk kepentingan pertanian rakyat,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya