Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Bisnis dari Peka Consult, Kafi Kurnia, menyebut kemunculan bisnis-bisnis rumahan seperti kopi kemasan literan dan makanan, menjadi bibit ekonomi baru di tengah pandemi Covid-19. Namun, sayangnya bisnis yang kental dari kearifan lokal ini belum terjamin akan kualitasnya.
"Ini kan bibit (seed) ekonomi di masa susah, mungkin yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana caranya untuk memanfaatkan seed yang berasal dari kearifan lokal ini untuk menjadi empowernent economy on the next lead, mungkin itu salah satu caranya," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (11/7/2020).
Baca Juga
Menurut dia, pemerintah perlu menyediakan sebuah platform untuk membantu dari segi penjualan ke depan untuk para pelaku-pelaku usaha rintisan tersebut.
Advertisement
Karena yang terjadi belakangan, mereka hanya mengandalkan media sosial seperti Facebook dan Instagram yang jangkauannya masih teman-teman terdekat.
"Waktu pertama kali mereka jualan kebanyakan dari teman-teman merasa ah enggak enak kita free aja deh kan teman, tapi banyak orang beli. Tapi belum tentu semua enak sekali beli 2, tapi tidak beli terus-terusan. Ini yang menjadi masalah gitu sekarang, padahal ini potensi bibit," kata dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Terobosan
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah juga perlu membuat trobosan baru untuk menyedot usaha-usaha rintisan tersebut.
Setidaknya, pemerintah bisa melakukan inovasi yang dilakukan di Jepang, di mana ada sekolompok masyarakat yang membuat ide dapur bersama, dengan cara memfasilitasi banyak kafe dan restoran besar yang tutup lalu dijadikan dapur bersama, sehingga perusahaan-perusahaan kecil menitipkan produknya.
"Saya melihat dan mendengar Gojek membuat project serupa, mereka menamakan cloud kitchen, dimana satu tempat kemudian pengusaha-pengusaha itu tanpa harus membuka kitchen tanpa harus modal besar bisa menitipkan produknya disana, nanti Gojek/Go Food menyediakan jasa pemesanan dan pengiriman, dan dapurnya dishare," kata dia.
"Yang sangat menarik kita adalah negara yang sangat Bhineka Tunggal Ika, jadi kearifan lokal sangat banyak sekali dan itu yang menyebabkan sulit karena budayanya beda sehingga setiap daerah punya ciri khas," sambung Kafi.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com
Advertisement