Liputan6.com, Jakarta Sebuah penelitian menemukan jika akibat wabah pandemi Covid-19 yang masih terjadi di seluruh dunia, lebih dari sepertiga anak muda atau yang akrab disebut Generasi Z di Inggris merasa jika mereka harus menyerah dengan harapan mendapatkan pekerjaan impian.
Mengutip dari CNBC, Selasa (5/10/2020) penelitian yang dilakukan Pasar Censuswide atas nama badan amal pemuda Pangeran Charles, The Prince’s Trust, yang menemukan hal ini. Survei dilakukan dengan meminta pendapat dari 2.000 anak berusia 16-25 tahun di Inggris.
Baca Juga
Kaum muda telah terpengaruh dari kejatuhan ekonomi akibat pandemi, yang berkaitan dengan pengangguran dan gangguan terhadap pendidikan atau pelatihan.
Advertisement
Pada kuartal kedua tahun ini, Kantor Statistik Nasional Inggris menyoroti peningkatan pengangguran kaum muda.
Sementara itu, Organisasi Perburuhan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan lalu melaporkan, sekitar 42 persen anak muda di seluruh dunia yang masih bekerja selama pandemi pun telah kehilangan pendapatan karena krisis.
Sebanyak 3 dari 5 anak muda yang mengikuti survei takut tidak memiliki pekerjaan, menurut survei The Prince’s Trust.
Sehingga menurut mereka tujuan masa depan tampaknya mustahil untuk dicapai. Dua per lima orang di bawah 25 tahun berpikir mereka tidak akan pernah berhasil dalam hidup.
Sebanyak 36 persen anak muda lainnya telah kehilangan harapan secara keseluruhan untuk masa depan. Dalam jangka pendek, 39 persen orang di bawah 25 tahun mengatakan mereka telah menyerah pada aspirasi mereka untuk tahun depan.
Temuan ini menunjukkan bahwa pandemi telah “melakukan lebih dari sekadar mengganggu pendidikan, pelatihan dan peluang kerja penting bagi kaum muda,” ujar Jonathan Townsend, CEO The Prince’s Trust Inggris.
Reporter: Tasya Stevany
Saksikan video di bawah ini:
Terungkap, Begini Cara Bos Milenial Genjot Produktivitas Pekerjanya
Pekerja milenial dikenal sebagai pekerja ‘kutu lompat’. Pasalnya, generasi ini disebut memiliki keingintahuan serta kemampuan beradaptasi yang tinggi. Namun di sisi lain, generasi ini juga memiliki kecenderungan mudah bosan. Hal-hal tersebut yang dinilai memicu generasi milenial menjadi ‘kutu loncat’.
Berkenaan dengan itu, Founder sekaligus Lead Artist NeverTooLavish (NTL), Bernhard Suryaningrat atau akrab disapa Abeng, mengatakan tak pernah memberi aturan formal kepada seniman yang tergabung dalam Nevertoolavish. Termasuk jam kerja yang dibebaskan. Hal ini, kata Abeng, memberi keleluasaan kepada seniman untuk mengeksplorasi karya mereka.
Namun, seiring dengan pesatnya minat konsumen, Abeng merasa perlu menekankan adanya kedisiplinan. Sehingga pesanan cepat selesai dan kuantitas bisa bertambah. Ini juga otomatis akan menambah pundi-pundi seniman di Nevertoolavish.
“NTL ini awalnya memang nggak pernah ngasih jam kerja. Mau kerja jam berapa aja bebas, yang penting selesaiin barang. Tapi ternyata ada beberapa faktor yang harus sedikit berubah. Karena seniman itu kalau mau dibebasin, terkadang mereka jadi liar,” kata dia dalam Inspiring Talkshow "from Indonesia To The World" Mandiri Karnaval 2020, Sabtu (3/10/2020).
“Jadi gue mengajarkan mereka untuk lebih disiplin waktu. Jadi gue coba terapkan jam kerja, emang awalnya agak sedikit ada perlawanan. Kayak mereka ada yang nggak bisa nih, segala macam, tapi akhirnya mereka tersadar bahwa ternyata waktu itu juga sangat penting. Dan mereka pun mendapatkan penghasilan lebih dari disiplin itu,” sambung Abeng.
Dalam kesempatan yang sama, Founder Brodo Footwear, Muhammad Yukka Harlanda membeberkan hal serupa. Dimana pada prinsipnya, ia mengadopsi strategi dari permainan basket.
Di mana ada offense dan defense. Atau dalam dunia usaha, kata Yukka, ada tim yang kebagian perluasan bisnis dan ada tim untuk mempertahankan bisnis secara internal.
“Kita nggak pernah pengalaman memimpin dan merekrut karyawan itu. Kita belajar dari kesalahan-kesalahan. Prinsip ekonomi kreatif industri kalau kita pakai prinsip basket. Paling tidak kita punya offense defense,” kata Yuka.
Lebih lanjut, Yukka menyebutkan strategi yang ia terapkan selama ini serupa permainan musik Jazz. Dimana semua personil bebas melakukan eksplorasi namun dengan visi yang sama. Brodo-pun demikian.
“Kita bukan main orkestra. Jadi kalau orkestra, kita serahkan pada konduktor nya, lalu semua ngikutin. Kalau Jazz nggak ada yang bener-bener nyuruh harus ngapain. Tapi kita punya prinsip punya visi bahwa, ini progresnya seperti ini, setelah itu silahkan. Bebas,” kata Yukka di acara Mandiri Karnaval 2020.
Advertisement