Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah merancang Rencana Pengelolaan Perikanan Tangkap Tuna, Cakalang dan Tongkol (RPP TCT) yang akan menjadi regulasi industri perikanan tanah air. Peneliti Madya Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP Fayakun Satria mengatakan RPP TCT ini perlu dipantau dalam pelaksanaanya.
Pemantauan terpenting dalam RPP TCT ini terkait pelaporan pelaku usaha akan hasil tangkapan ikan. Sebab selama ini, pelaporan hasil tangkapan ikan masih belum jadi perhatian.
Baca Juga
"Ini kepentingan data dan pelaporan. Saya berharap dari pelaku usaha perikanan bisa melaporkan hasil tangkapan dengan baik," kata Fayakun dalam Konsultasi Publik terkait Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (RPP TCT) secara virtual, Jakarta, Rabu (30/9).
Advertisement
Fayakun menuturkan laporan hasil tangkapan ikan ini sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan analisis. Sekaligus melakukan evaluasi terhadap pengelolaan ikan tangkap yang tercantum dalam RPP TCT.
Pengumpulan data ini sekaligus merefleksikan kepatuhan para pelaku usaha dalam menjalankan regulasi yang dibuat pemerintah. KKP melihat komitmen tersebut dari cara pelaporan hasil tangkapan ikan.
"Pengumpulan data yang merefleksikan kepatihan pelaku usaha," kata dia.
Selain itu, pendanaan akan pelaporan data juga dinilai masih kurang. Fayakun meminta para pelaku usaha bisa mendukung hal ini.
Dia menyebut sudah ada upaya dari beberapa organisasi atau asosiasi terkait dalam hal ini. Hanya saja pengumpulan data ini dirasa belum maksimal dilakukan pelaku usaha di daerah.
"Dari daerah kita mendapati masih ada kebutuhan untuk diperkuat," katanya mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
KKP Bantah Pro Pengusaha Soal Penangkapan Hasil Laut
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Bidang Sos-Ek Perikanan, Nimmi Zulbainarni mengatakan pertentangan antara ekonomi dan konservasi dalam perikanan tangkap kurang tepat. Salah satunya pertentangan terkait aturan benih lobster yang dinilai pro pengusaha dan mengeksploitasi kekayaan alam.
"Selama ini ada pertentangan ekonomi dan konservasi. Sebenarnya ini kurang tepat," kata Nimmi dalam Konsultasi Publik terkait Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (RPP TCT) secara virtual, Jakarta, Rabu (30/9/2020).
Menurutnya ikan dan habitat di dalam laut merupakan potensi yang bisa dimanfaatkan. Namun, pemanfaatannya ini perlu dikelola dalam bingkai aturan.
Dengan adanya aturan pemanfaatan kekayaan alam bawah laut ini bisa berdampak pada kelestarian secara berkelanjutan. Lagi pula, kata Nimmi pemanfaatan ekosistem di laut pun tidak akan menyentuh kawasan konservasi.
"Kita memanfaatkan bunga (ikan tangkapan) yang di luar kawasan konservasi laut," ungkap Nimmi.
Perikanan yang tidak diatur atau tanpa regulasi cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat yang melebihi tingkat optimal. Sehingga over investasi terjadi dan perikanan menjadi tidak efisien secara sosial dan ekonomi.
Semakin bernilai ekonomi perikanan maka semakin tinggi pula kecenderungan pengurasan dari dalam laut. Kondisi ini akan terjadi jika tanpa ada kebijakan atau regulasi yang mengatur.
Sehingga, lanjut pejabat KKP tersebut, penangkapan ikan berlebihan (overfishing) terjadi bukan karena kerakusan nelayan. Tetapi juga disebabkan tidak adanya regulasi dari pemerintah.
Merdeka.comÂ
Advertisement