Liputan6.com, Jakarta - Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Bidang Sos-Ek Perikanan, Nimmi Zulbainarni mengatakan pertentangan antara ekonomi dan konservasi dalam perikanan tangkap kurang tepat. Salah satunya pertentangan terkait aturan benih lobster yang dinilai pro pengusaha dan mengeksploitasi kekayaan alam.
"Selama ini ada pertentangan ekonomi dan konservasi. Sebenarnya ini kurang tepat," kata Nimmi dalam Konsultasi Publik terkait Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (RPP TCT) secara virtual, Jakarta, Rabu (30/9/2020).
Baca Juga
Menurutnya ikan dan habitat di dalam laut merupakan potensi yang bisa dimanfaatkan. Namun, pemanfaatannya ini perlu dikelola dalam bingkai aturan.
Advertisement
Dengan adanya aturan pemanfaatan kekayaan alam bawah laut ini bisa berdampak pada kelestarian secara berkelanjutan. Lagi pula, kata Nimmi pemanfaatan ekosistem di laut pun tidak akan menyentuh kawasan konservasi.
"Kita memanfaatkan bunga (ikan tangkapan) yang di luar kawasan konservasi laut," ungkap Nimmi.
Perikanan yang tidak diatur atau tanpa regulasi cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat yang melebihi tingkat optimal. Sehingga over investasi terjadi dan perikanan menjadi tidak efisien secara sosial dan ekonomi.
Semakin bernilai ekonomi perikanan maka semakin tinggi pula kecenderungan pengurasan dari dalam laut. Kondisi ini akan terjadi jika tanpa ada kebijakan atau regulasi yang mengatur.
Sehingga, lanjut pejabat KKP tersebut, penangkapan ikan berlebihan (overfishing) terjadi bukan karena kerakusan nelayan. Tetapi juga disebabkan tidak adanya regulasi dari pemerintah.
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
KKP Diminta Evaluasi Penghitungan Tarif Logistik Ekspor Benih Lobster
Berjalannya kebijakan ekspor benih lobster yang baru diluncurkan Menteri Edhy Prabowo tidak terlepas dari persoalan. Misalnya saja soal pengiriman benih lobster ke Vietnam yang pada awalnya hendak dilakukan dengan pesawat charter yang dikoordinasikan oleh satu perusahaan yang direkomendasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Namun, penggunaan pesawat charter itu hanya berjalan satu kali yang dilaksanakan pada saat pengiriman perdana. Sedangkan untuk pengiriman selanjutnya atau yang kedua hingga yang ketiga pada Jumat (17/7/2020) dini hari, ternyata menggunakan pesawat reguler (komersil) atau tidak dengan pesawat charter seperti yang direncanakan.
Meski tidak lagi menggunakan pesawat charter, biaya cargo yang mesti dibayarkan eksportir tetap dihitung per ekor sebesar Rp 1.800 dan dibayarkan kepada perusahaan yang ditunjuk KKP. Padahal, tarif cargo yang seharusnya adalah berdasarkan berat barang. Selain itu, sudah ada tarif resmi yang dikeluarkan oleh setiap maskapai penerbangan dengan tarif per kilogram.
Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) Ir Wajan Sudja berpendapat, lebih baik pengiriman benih lobster mengikuti praktik umum di dunia cargo udara, yaitu tarif seyogyanya dihitung berdasarkan berat barang yang akan dikirim, kilogram atau ton.
"Semakin banyak tonasenya semakin rendah tarifnya," ujar Wayan, Jumat (17/7/2020).
Jika tarif dihitung per ekor, kata dia, menjadi sangat tidak fair karena jatuhnya akan luar biasa tinggi dan sangat memberatkan pengirim benih lobster. Artinya, KKP diminta evaluasi tarif logistik ekspor benih lobster yang saat ini sedang bergulir.
"Sehingga pada akhirnya akan membebankan nelayan penangkap benih lobster, yang mana berdampak pada penghasilan mereka berkurang akibat penurunan harga beli," ujarnya.
Sementara itu, pengusaha yang juga merupakan mantan Wakil ketua DPR RI, Fahri Hamzah meyakini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat memperbaiki sistem yang ada terkait kebijakan ekspor benih lobster. Oleh karena itu Fahri meminta semua pihak untuk memberikan waktu bagi KKP dalam bekerja.
Menurut pengusaha asal Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut, kebijakan ekspor benih lobster adalah kebijakan yang baik sehingga harus dikawal dan didukung.
"Beri waktu kepada KKP untuk memperbaiki siatem yang ada. Karena kebijakan ini bagus, harus dikawal dan didukung," ujar Fahri.
Advertisement