Liputan6.com, Jakarta - Memasuki tahun ke-7 Ristekdikti-Kalbe Science Awards (RKSA) 2021 berbeda dengan RKSA 2018-2020. RKSA 2021 difokuskan pemberian dana pada penelitian dalam bidang Kesehatan khususnya berkaitan dengan penelitian terkait Covid-19.
“Kalbe terus berkomitmen untuk melanjutkan RKSA yang ketujuh kalinya di 2021 dengan memberikan dana penelitian untuk proposal penelitian hingga hilirisasi dibidang Kesehatan serta akan memberikan pelatihan khusus pada penelitian yang memiliki keterkaitan dengan covid-19,” kata Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius, dalam Peluncuran RKSA 2021, Selasa (10/11/2020).
Baca Juga
Vidjongtius menjelaskan Ristekdikti-Kalbe Science Awards merupakan kolaborasi Kemenristek/BRIN dan Kalbe dalam meningkatkan hilirisasi penelitian dibidang Kesehatan, yang sekaligus memperkuat kolaborasi antara akademisi, industri, Pemerintah, dan komunitas penelitian lainnya.
Advertisement
Hilirisasi penelitian akan turut berkontribusi positif dalam peningkatan layanan Kesehatan dan nilai ekonomi nasional. Pada awalnya konsep RKSA diarahkan kepada penghargaan hasil penelitian dibidang Kesehatan tanpa dikaitkan dengan hilirisasinya.
“Sejak Ristekdikti-Kalbe Science Awards 2018 diubah konsepnya menjadi pemberian dana penelitian yang mencapai tahapan hilirisasi sehingga demikian hasil penelitian dapat memberikan dampak langsung untuk masyarakat,” ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dana Penelitian
Sebagai laporan, Vidjongtius menyampaikan RKSA 2018 mencakup beberapa kategori topik seperti Farma atau Bio farma, sel punca, alat Kesehatan, diagnostika, herbal, makanan dan minuman Kesehatan.
Panitia RKSA 2018 sudah menerima 445 makalah penelitian dari 13 universitas atau Lembaga penelitian dan terpilih 5 peneliti sebagai penerima dana RKSA 2018-2020 yang mendapatkan dana penelitian total Rp 1,7 miliar.
Adapun 5 peneliti terpilih tersebut diantaranya Dr. Anggraini Barlian dan Prof. Dessy Natalia dari ITB, Dr. dr. Rahayusalim dari Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Prof. Dr. Ir. Made Astawan dari Institut Pertanian Bogor, dan Prof. Dr. Ir. Endang S. Rahayu dari Universitas Gajah Mada.
Advertisement