6 Asosiasi Jasa Keuangan Berbagi Pengetahuan Soal Perlindungan Konsumen di Era Digital

Dibutuhkan suatu langkah terobosan agar seluruh pengguna jasa keuangan digital merasa bermanfaat, aman, dan nyaman dalam melakukan aktivitas jasa atau layanannya.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Nov 2020, 18:27 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2020, 18:27 WIB
IMA
IMA menggelar Webinar Series 2 tentang literasi keuangan dan perlindungan konsumen di era digital, Selasa 17 November 2020. Dok IMA

Liputan6.com, Jakarta Indonesia Marketing Association (IMA) menggelar Webinar Series 2 tentang literasi keuangan dan perlindungan konsumen di era digital, Selasa 17 November 2020. Acara ini dihadiri lebih dari 1.000 peserta dari berbagai undangan asosiasi jasa keuangan seluruh Indonesia.

IMA berinisiatif menyelenggarakan webinar dan bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Turut terlibat para pelaku sektor keuangan di Indonesia. Mulai dari Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA), Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI), Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), hingga Asosiasi Modal Ventura Indonesia (AMVI).

Semua perwakilan yang hadir membagikan informasi dan pengetahuan baru bagi masyarakat Indonesia tentang literasi keuangan dan perlindungan konsumen, khususnya di era digital.

Dikatakan jika dalam beberapa tahun terakhir setelah era electric beralih ke era digital, banyak sekali perubahan drastis terjadi. Selain memberikan manfaat, era digital saat ini juga memiliki peluang disalahgunakan oleh berbagai pihak.

Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu langkah terobosan agar seluruh pengguna jasa keuangan digital merasa bermanfaat, aman, dan nyaman dalam melakukan aktivitas jasa atau layanannya.

Tirta Segara, Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi mengatakan semua pihak harus terus mendorong literasi keuangan dan mengedukasi secara spesifik setiap lapisan masyarakat. Digitalisasi terjadi di seluruh aspek baik transportasi, traveling, dunia hiburan, perbelanjaan dan tentunya di bidang keuangan.

"Selain banyak manfaat yang diperoleh, di sisi lain setiap tahun terus bermunculan financial technology (fintech) ilegal dan investasi bodong yang jumlahnya mencapai ribuan akun," jelas dia.

Dari sisi nilai, kerugian akibat kejahatan siber mencapai Rp 8.160 triliun per tahun. Sehingga diperlukan sinergi yang baik dari berbagai lembaga terkait untuk menghadapi tantangan ini secara bersama-sama.

Jadi, kata Tirta, kita harus melindungi kedua sisi, yaitu konsumen serta lembaganya, sehingga akhirnya akan diperoleh peningkatan tingkat kepercayaan bagi semua stakeholders jasa keuangan tersebut. Oleh sebab itu, program perlindungan konsumen di era digital menjadi semakin penting dan krusial.

Menurut Tirta, setiap jasa keuangan harus diawasi dengan dua fokus, yaitu pertama prudential, yang mencakup seperti kesehatan individu Lembaga Jasa Keuangan (LJK), profil risiko, rasio keuangan dan manajemen atau operasional dan yang kedua fokus market conduct, yaitu mengawasi perilaku Pelaku

Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dalam berhubungan dengan konsumen. OJK tidak bisa melakukan sendiri tanpa kolaborasi dan sinergi dengan lembaga-lembaga lainnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di 2013 tingkat literasi keuangan Indonesia masih berada di angka 21,8 persen dan hasil indeks inklusi keuangan mencapai 59,7 persen.

Kemudian meningkat di tahun 2019 dengan tingkat indeks literasi keuangan Indonesia di angka 38 persen dan indeks inklusi keuangan berada di angka 76,2 persen.

Namun, sebagai pembanding, angka indeks inklusi Indonesia masih berada di bawah negara ASEAN lainnya. Misalnya Singapura 98 persen, Malaysia 85 persen, Thailand 82 persen.

Adapun tingkat indeks literasi keuangan tercatat baru 38 persen, artinya, banyak masyarakat Indonesia ikut ke dalam sistem keuangan, tapi belum paham tentang transaksi dan masalah keuangan tersebut.

Oleh sebab itu, meskipun angka indeks literasi tersebut mengalami kenaikan, banyak sekali kejadian-kejadian yang diperkirakan disebabkan oleh kurangnya literasi dari segi keuangan. Inilah yang dimaksud dengan tantangan bersama.

IMA merupakan asosiasi yang erat kaitannya dengan layanan keuangan dan perlindungan konsumen, karena anggotanya yang berasal dari beragam kalangan, yaitu para profesional, pemerintahan, pendidik, serta entrepreneur yang tentunya menggunakan beragam layanan jasa keuangan mulai dari Perbankan, Pembiayaan, Asuransi, hingga layanan dari Teknologi Keuangan (Tekfin).

President IMA, Suparno Djasmin mengharapkan bahwa diskusi seperti Webinar yang dilakukan IMA ini perlu dibagikan ke banyak orang, agar literasi dan inklusi keuangan dapat semakin baik, serta para konsumen dan penyedia jasa keuangan dapat terhindar dari kerugian.

Webinar series ini, tutur Suparno Djasmin, sejalan dengan visi IMA, yaitu sebagai wadah untuk meningkatkan pengetahuan serta keterampilan dan mewakili kepentingan para profesional pemasaran dan kewirausahaan.

 

Saksikan video di bawah ini:

Terus Tumbuh

IMA
IMA menggelar Webinar Series 2 tentang literasi keuangan dan perlindungan konsumen di era digital, Selasa 17 November 2020. Dok IMA

Honorary Founding Chairman IMA, Hermawan Kartajaya mengatakan perlindungan konsumen dan literasi merupakan suatu peluang bisnis. Dan satu hal yang penting, manusia tidak dapat didigitalisasi atau tidak akan bisa digantikan oleh mesin.

"Yang bisa diganti itu hanya fungsi-fungsi tertentu. Manusia harus naik lagi fungsinya ketika fungsi yang lama diganti dengan fungsi yang baru. Oleh karena itu, untuk mencapai titik harmoni, diperlukan keseimbangan digital antara manusia dan teknologi," kata dia.

Sekretaris HIMBARA Ahmad Solichin Lutfiyanto, mengatakan bahwa Himbara terus mendukung OJK untuk mengoptimalkan Literasi Keuangan dan Perlindungan Konsumen.

Himbara juga mendorong Laku Pandai dan mendukung Perlindungan Nasabah untuk keberlanjutan Financial Inclusion. Selain itu Himbara juga berperan dalam meningkatkan akses terhadap layanan keuangan secara terpadu dan berkomitmen untuk meningkatkan perlindungan konsumen melalui akselerasi inklusi dan literasi keuangan.

Ketua APPI, Suwandi Wiratno mengatakan jika literasi dan inklusi keuangan di industri pembiayaan mengalami peningkatan di mana perkembangan literasi tahun 2016 berada di angka 13 persen dan tahun 2019 di angka 15,17 persen, meningkat sebesar 16,7 persen.

Sementara perkembangan inklusi tahun 2016 berada di angka 11,8 persen dan tahun 2019 berada di angka 14,56 persen, meningkat sebesar 23,3 persen. "Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh setiap industri yaitu menerapkan penyelenggaraan kegiatan literasi dan inklusi keuangan setiap tahunnya.”

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya