Nasabah Minta OJK Lebih Aktif Bantu Penyelesaian Kasus Jiwasraya

Forum Korban BUMN PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mendesak OJK dan 7 Bank yang menjadi penyalur produk Jiwasraya Saving Plan harus ikut bertanggungjawab

oleh Tira Santia diperbarui 14 Des 2020, 21:21 WIB
Diterbitkan 14 Des 2020, 19:15 WIB
Kantor Pusat PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
Kantor Pusat PT Asuransi Jiwasraya (Persero) (dok: Jiwasraya)

Liputan6.com, Jakarta - Forum Korban BUMN PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Lee Kanghyun mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan 7 Bank yang menjadi penyalur produk Jiwasraya Saving Plan harus ikut bertanggungjawab di dalam penyelesaian masalah yang dilakukan melalui pelaksanaan program restrukturisasi polis Jiwasraya.

Saat ini, pihak OJK dan Bank dinilai pasif dan tidak memberi solusi apapun bagi nasabah.

"Pemerintah cari kesalahan dari bank, bank punya duit. Harusnya 7 bank itu tegur suruh bayar," tegas Lee dalam jumpa pers secara virtual, Senin (14/12/2020).

Lee mengatakan, dari 7 Bank yang menjadi penyalur produk Jiwasraya Saving Plan baru 1 bank yang bersedia bertanggungjawab. Hanya saja, upaya pertanggungjawaban Bank tersebut ditolak OJK dengan alasan yang tidak jelas.

"OJK ngapain? Suruh 7 bank tanggung jawab, ambil tindakan. Tapi kenapa diam? Dalam OJK bank dan non bank tidak bisa komunikasi," kata Lee.

Selain dinilai lepas tangan, Lee juga menyoroti kinerja OJK yang telah menerbitkan izin produk JS Saving Plan meski saat itu Jiwasraya dalam keadaan yang tidak sehat.

"Karena Bancassurance ini waktu menjual produk ini, kalau memang diketahui 100% bahayanya, bagaimana dan nanti kalau kejadian rugi? Nanti penanggungjawabnya gimana?" tutur Lee.

Senada dengan Lee, Kerman salah satu pemegang polis JS Plan juga menyesalkan sikap Bank dan OJK yang dinilai acuh terhadap nasib para pemegang polis JS Plan pasca Jiwasraya mengalami gagal bayar. Untuk itu, ia pun mendesak agar jajaran Bank juga mengupayakan solusi untuk menyelesaikan tunggakan Jiwasraya.

"Kalau dilihat kronologis, Kami harapkan pertanggungjawaban bank karena bagaimanapun kami beli dr mereka. Kami ditawarkan bahwa produk ini adalah produk asuransi dari BUMN asuransi yang sehat. Bukan produk bermasalah dari perusahaan yang sakit," cetus Kerman.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

OJK: Banyak Asuransi Gagal Bayar karena Tata Kelola Buruk

Ilustrasi OJK 2
Ilustrasi OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan alasan utama maraknya perusahaan asuransi mengalami gagal bayar. Buruknya penerapan tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) yang menjadi biang keroknya.

"Di Industri Asuransi kita, masih belum baik penerapan GCG nya. Sehingga perusahaan asuransi kerap mengalami persoalan gagal bayar," ujar Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II OJK M Ihsanuddin dalam webinar bertajuk 'Mendorong Penetrasi Berkesinambungan Melalui Peningkatan GCG', Kamis (10/9/2020).

Ihsan mengatakan untuk perusahaan asuransi besar dengan nilai investasi yang juga besar harus memiliki aturan atau SOP yang harus ditaati oleh para fund manager. Seperti menentukan jenis instrumen atau proporsi investasi di instrumen yang dianggap berisiko.

Sehingga manajemen akan tergerak untuk melakukan proses pemantauan secara ketat terhadap penempatan dana investasi. Imbasnya peluang adanya kesalahan pembelian nilai aset yang anjlok hingga nilai sangat rendah bisa di antisipasi. Ujungnya penerimaan premi bisa terus dijaga secara normal oleh perusahaan.

"Di Indonesia sendiri regulasi terkait kewajiban menerapkan GCG oleh perusahaan asuransi telah tertuang dalam Pojk 43/POJK 05 2019 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. Aturan ini bertujuan agar perusahaan asuransi mampu melakukan tata kelola dengan baik untuk terhindar dari kasus gagal bayar," sambungnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon yang mengungkapkan bahwa GCG menjadi kunci bagi perusahaan asuransi untuk menghindari berbagai risiko permasalahan termasuk gagal bayar.

"Misalnya ada perusahaan asuransi yang bermasalah dari sisi investasi sehingga mengakibatkan gagal bayar. Ternyata stategi revenue nya atau kegiatan investasi nya tidak memadai. Sekali lagi kuncinya ada di GCG," tandasnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya