4,2 Juta Penduduk Indonesia Kerja di Sektor Sawit, Apa Hasilnya?

BPDKS mengklaim bahwa sektor sawit masih bisa tumbuh di tengah kondisi pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Agu 2021, 11:30 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2021, 11:30 WIB
Hamparan kebun milik petani sawit plasma PTPN V sebagai bahan baku utama bahan bakar nabati program green fuel.
Hamparan kebun milik petani sawit plasma PTPN V sebagai bahan baku utama bahan bakar nabati program green fuel. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengelola Dana Perkembunan Kelapa Sawit (BPDKS) mengklaim bahwa sektor sawit masih bisa tumbuh di tengah kondisi pandemi Covid-19. Hal ini tercermin dari sumbangkan devisa ekspor sekitar USD13 miliar sampai dengan Agustus 2020.

Selain itu, perkebunan dan Industri sawit juga membuka jutaan lapangan kerja di dalam negeri baik untuk petani sawit, pekerja pabrik, dan tenaga kerja lainnya di sepanjang rantai produksi kelapa sawit dari kebun sampai dengan menjadi produk akhir.

"Tercatat kurang lebih 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 16 juta tenaga kerja tidak langsung yang diserap oleh sektor sawit," kata Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman, dalam Kegiatan Journalist Fellowship secara virtual, Selasa (24/8/2021).

Dia mengatakan, kekelapa sawit berperan besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dari aspek ekonomi, sosial, dan ketahanan energi. Hal ini tidak terlepas dari posisi Indonesia yang merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia.

Produk kelapa sawit dan turunannya telah di ekspor ke seluruh penjuru dunia dan merupakan komoditas penghasil devisa ekspor terbesar bagi Indonesia. Pada tahun 2019, nilai ekspornya (diluar produk Oleokimia & Biodiesel) mencapai USD15,57 miliar (data BPS) setara kurang lebih Rp220 triliun.

"Ini melampaui nilai ekspor dari sektor migas maupun sektor non migas lainnya," katanya.

Di samping itu, sawit telah berkontribusi pula menjadikan Indonesia sebagai produsen biodiesel, energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan fossil fuel, yang bahan bakunya berasal dari minyak sawit.

Biodiesel sawit tersebut, melalui pencampuran dengan minyak Solar dalam bentuk B-30, telah gunakan sebagai bahan bakar, sehingga mengurangi ketergantungan negara kita atas impor minyak bumi sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan di sektor migas.

Dia menambahkan, berbagai produk-produk sawit juga telah mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Paling familiar adalah minyak goreng dari sawit. Namun sesungguhnya konsumsi minyak sawit dan turunannya lebih luas dari itu.

Di mana minyak sawit ada dalam produk sabun, shampoo, deterjen, lipstick, produk kosmetik, personal care, roti, coklat, biskuit, krimer, margarin, susu formula bayi, dan lain-lain. Penggunaan minyak sawit dan turunannya, yang merupakan minyak nabati dengan produktivitas tertinggi, menjadikan produk-produk tersebut dapat digunakan oleh segenap kalangan masyarakat kita dengan harga yang relatif terjangkau.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Belum Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Petani Sawit di Jambi
Meski harga sawit cenderung belum stabil, komoditi ini tetap menjadi primadona bagi petani di Provinsi Jambi. (Dok. Istimewa/B Santoso)

Meski peran komoditas sawit begitu besar bagi masyarakat dan perekonomian, namun sangat ironis bahwa kemudian komoditas ini belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Isu negatif terhadap sawit di dalam negeri masih marak dan kerap diterima masyarakat dengan pemahaman yang keliru sehingga dianggap sebagai kebenaran umum.

Sejumlah isu tersebut antara lain anggapan bahwa perkebunan dan industri sawit merupakan penyebab hilangnya hutan tropis, sawit sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, sawit sebagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, minyak sawit tidak baik bagi kesehatan, isu penggunaan tenaga kerja anak di perkebunan sawit, dan bermacam isu negatif lainnya yang dialamatkan kepada sawit.

"Namun isu-isu dan tuduhan negatif terhadap sawit banyak yang berasal dari luar Indonesia dan umumnya tidak berdasarkan fakta objektif di lapangan," jelasnya.

Dia mengatakan, beberapa isu ini diproduksi sebagai dampak dari persaingan dagang komoditas minyak nabati dunia, dimana sawit memang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan sebagainya. Namun terkadang tanpa disadari, beberapa kelompok masyarakat justru berperan dalam mengamplifikasi isu negatif tersebut di dalam negeri.

"Kampanye isu-isu negatif tersebut dalam jangka waktu yang lama telah memunculkan stigma negatif terhadap sawit sehingga kemudian sawit teralienasi dari masyarakat yang justru mengkonsumsinya setiap hari. Ini sungguh sebuah paradoks dimana komoditas hasil negeri sendiri yang memiliki manfaat begitu banyak, justru belum dipahami dan bahkan banyak dikritik oleh masyarakat dalam negeri sendiri," jelasnya.

Oleh karena itu, dia tak ingin dalam jangka panjang, isu-isu negatif ini akan merugikan perkebunan dan industri sawit nasional dan tentu akan berdampak pula bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya