Penerima Gratifikasi Bisa Lolos Sanksi Hukum, Kok Bisa? Ini Penjelasan KPK

KPK menyatakan sanksi hukum terkait suap dan gratifikasi itu berbeda

oleh Tira Santia diperbarui 21 Sep 2021, 14:49 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2021, 14:49 WIB
KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan sanksi hukum terkait suap dan gratifikasi itu berbeda. Dimana pelaku suap yang dilakukan oleh dua pihak yakni pemberi dan penerima akan tetap mendapatkan sanksi hukum, sedangkan penerima gratifikasi bisa lolos dari sanksi hukum.

Dia menjelaskan, penyuapan merupakan tindakan memberikan uang, barang atau bentuk lain dari pembalasan dari pemberi suap yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama kepada penerima suap, yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan dengan penerima.  

“Kalau disuap pemberi dan penerima sama-sama diangkut karena pasalnya bilang begitu. Nah yang agak kabur adalah gratifikasi, disebut bahwa yang menerima pasif, itu yang kita bilang gratifikasi pasif. Jadi posisi penerimanya itu diasumsikan tidak tahu, nah itu tetap diduga atau dianggap sebagai suap karena dia menerima terkait dengan jabatannya,” jelas Pahala dalam webinar OJK Pencegahan Penyuapan di Industri Jasa Keuangan, Selasa (21/9/2021).

Sedangkan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, dalam bentuk uang, barang, pinjaman tanpa bunga, pengobatan cuma-cuma, komisi, rabat/diskon, fasilitas penginapan, tiket perjalanan, perjalanan wisata, dan fasilitas lainnya.

Namun, berdasarkan pasal 12 B ayat 1 Undang-undang tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi dapat dikatakan suap dan kena sanksi hukum jika menyangkut pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

“Jadi pegawai negeri atau penyelenggara negara  yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan atau berlawanan melakukan atau tidak melakukan dia itu masuk pasal 12 B besar dan kita bilang dianggap suap,” jelasnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tak Segera Lapor ke KPK

Logo KPK yang sempat tertutup kain hitam kini sudah terbuka usai demo ricuh, Jumat (13/9/2019).
Logo KPK yang sempat tertutup kain hitam kini sudah terbuka usai demo ricuh, Jumat (13/9/2019). (Liputan6.com/ Nanda Perdana Putra)

Dengan demikian jika penerima gratifikasi tidak segera melaporkan diri kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diterimanya gratifikasi, maka akan kena sanksi hukum berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, juga kena sanksi pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Kendati begitu, terdapat pengecualian sanksi hukum bagi penerima gratifikasi, sesuai pasal 12 C ayat 1 UU nomor 20 tahun 2001, yakni sanksi hukum tidak berlaku jika segera lapor ke KPK dalam kurun waktu 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi.

“Tapi khusus gratifikasi kalau dilaporkan 30 hari kerja ke KPK dan kami punya kewajiban menetapkan. Jadi ada jendela keluarnya, gratifikasi tidak dianggap suap kalau dia lapor ke KPK dalam 30 hari kerja semenjak penerimaannya dan ditetapkan oleh KPK milik Anda atau milik negara,” pungkasnya.   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya