Harga Minyak Beragam karena Lonjakan Biaya Energi dan Kenaikan Kasus Covid-19

Membebani harga minyak, dolar AS mencapai level tertinggi 16 bulan terhadap sekeranjang mata uang karena investor khawatir tentang ekonomi global.

oleh Tira Santia diperbarui 16 Nov 2021, 08:00 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2021, 08:00 WIB
Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak ditutup beragam pada perdagangan Senin karena investor bertanya-tanya apakah pasokan minyak mentah akan meningkat dan apakah permintaan akan tertekan karena lonjakan biaya energi. Selain itu, gerak harga minyak juga dibayang-bayangi oleh penguatan dolar AS dan meningkatnya kasus Covid-19.

Mengutip CNBC, Selasa (16/11/2021), harga minyak berjangka Brent turun 12 sen atau 0,2 persen menjadi USD 82,05 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 8 sen atau 0,1 persen menjadi USD 80,88 per barel.

Analis Again Capital LLC New York John Kilduff mengatakan, di awal perdagangan, pasar minyak memperhitungkan spekulasi bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden dapat melawan harga tinggi dengan melepaskan minyak mentah dari Cadangan Minyak Strategis AS. Namun skeptisisme tentang pendekatan itu menyebabkan minyak mentah AS naik lebih tinggi.

"Pasar tampaknya telah menetapkan harga terlalu agresif sehingga rilis SPR akan terjadi," kata Kilduff.

Membebani harga minyak, dolar AS mencapai level tertinggi 16 bulan terhadap sekeranjang mata uang karena investor khawatir tentang ekonomi global.

Dolar AS yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

OPEC

Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pekan lalu memangkas perkiraan permintaan minyak dunia untuk kuartal IV sebesar 330 ribu barel per hari dari perkiraan bulan sebelumnya. Pemangkasan ini karena harga energi yang tinggi menghambat pemulihan ekonomi dari pandemi COVID-19.

"Pasar sekarang tampaknya tidak terlalu khawatir tentang ketatnya pasokan saat ini. Sebagian besar memperkirakan sentimen ini hanya berumur pendek," kata analis senior Rystad Louise Dickson.

“Pedagang malah memfokuskan kembali pada kembalinya dua faktor bearish yaitu kemungkinan lebih banyak sumber pasokan minyak dan lebih banyak kasus COVID-19.” kata dia.

Menteri Energi UEA Suhail al-Mazrouei mengatakan, semua indikasi menunjukkan surplus pasokan minyak pada kuartal I 2022.

"Ada sedikit peluang OPEC+ meningkatkan produksi lebih cepat, terutama jika kelompok itu memperkirakan pasar akan kembali surplus pada kuartal pertama 2022," kata analis pasar senior OANDA, Craig Erlam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya