Komisioner KPPU: Perusahaan Kompak Naikkan Harga Minyak Goreng

Menurut survei KPPU, puluhan pelaku usaha minyak goreng, tiga perusahaan minyak goreng menguasai sebagian besar pasar dengan presentasi di atas 10 persen.

oleh Arief Rahman H diperbarui 20 Jan 2022, 16:50 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2022, 16:50 WIB
FOTO: Kenaikan Harga Minyak Goreng Penyumbang Utama Inflasi
Pedagang menunjukkan minyak goreng di sebuah pasar di Kota Tangerang, Banten, Selasa (9/11/2011). Bank Indonesia mengatakan penyumbang utama inflasi November 2021 sampai minggu pertama bulan ini yaitu komoditas minyak goreng yang naik 0,04 persen mom. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak goreng tercatat melambung sejak Oktober 2021 hingga akhirnya pemerintah meguyur subsidi untuk menurunkan harga minyak goreng kemasan. Kenaikan harga minyak goreng ini disinyalir terjadi secara serempak.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ukay Karyadi menyampaikan sejumlah perusahaan besar produsen minyak goreng serempak menaikkan harga. Padahal, jika dicermati, ada peluang mengambil pasar domestik jika perusahaan yang tidak ikut menaikkan harga.

“Pemain besar ini kompak naikkan harganya. Masuk akal kalau kenaikan harga CPO tapi kan kebun sendiri pabrik sendiri, kalau tak dinaikan juga untung juga si pabrik minyak gorengnya, kalau yang lainnya naik dia sendiri tak naik akan diserbu masyarakat,” katanya dalam keterangan pers, Kamis (20/1/2022).

Menurut survei yang dilakukan KPPU, puluhan pelaku usaha minyak goreng, tiga perusahaan minyak goreng menguasai sebagian besar pasar dengan presentasi di atas 10 persen. Sementara itu ada beberapa yang berada di angka 6-8 persen. Namun, banyak perusahaan lainnya memiliki persentase pasar di bawah 2 persen.

Dari perusahaan besar itu, menurut data yang ditemukan KPPU, seluruhnya terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Ia pun menduga perusahaan besar ini cenderung mementingkan suplai ekspor sebab harga Crude Palm Oil (CPO) yang sedang mengalami tren kenaikan.

Sehingga, kata dia, suplai ke pasar dalam negeri jadi berkurang, imbasnya harga minyak goreng di tanah air mengalami peningkatan harga.

“Logikanya kalau gak disuplai pabriknya yang rugi dia sendiri. Kalau pasarnya banyak pemain minyak goreng banyak jadinya berpeluang ketika ada kenaikan harga kebun sawit rakyat diolah rakyat ini peluan rebut pasar minyak goreng terkenal,” terangnya.

Mendukung dugaannya ini kata dia, harga pokok produksi minyak goreng dinilai tak mengalami perubahan signifikan. Artinya, ini tidak dipandang jadi satu faktor kenaikan harga minyak goreng di pasaran.

“Ini bukan pertama kali, dulu banget (KPPU) pernah memperkarakan hal seperti ini. Namun kami juga selain penegakan hukum secara proaktif juga yang terpenting harga kembali normal karena ini surplus konsumennya hilang banyak kalau terus naik harganya,” tuturnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Solusi Jangka Pendek

Minyak Goreng Satu Harga Rp 14.000 per Liter Berlaku
Seorang pedagang menimbang minyak goreng curah di kiosnya Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Rabu (19/1/2022). Pemerintah resmi mengimplementasikan kebijakan minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter untuk semua jenis kemasan mulai hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Lebih lanjut, Ukay menyebut langkah pemerintah yang mengguyur Rp 7,6 triliun dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menetapkan patokan harga minyak goreng Rp 14 ribu per liter hanyalah solusi jangka pendek.

“Karena kalau jangka pendek gak bisa nunggu lama harus intervensi terhadap problem pasar ini, pemerintah ambil langkah gelontorkan minyak goreng subsidi dengan 14 ribu per liter, Ini gak bisa permanen,” katanya.

Ia pun meminta pelaku industri minyak goreng tak semata-mata melirik profit dengan menyuplai bahan baku ke pasar internasional.

“Pelaku usaha minyak goreng sebaiknya tak semata-mata juga memaksimalkan profit ketika ada momentum harga global tapi ada keberpihakan ke pasar domestik karena ongkos produksi gak ada kenaikan karena biaya kebun dan CPO itu punya (perusahaan itu) sendiri,” kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya