Liputan6.com, Jakarta - Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi China diperkirakan hanya akan berlangsung dalam jangka pendek.Â
Hal itu disampaikan oleh Duta Besar China untuk Amerika Serikat, Qin Gang dalam sebuah pidato di Forum Bisnis AS-China ke-4 yang diselenggarakan oleh Forbes China di New York.
Baca Juga
"Fundamental ekonomi China untuk jangka panjang, kinerja yang stabil tetap tidak berubah," kata Dubes Qin Gang, dikutip dari Forbes, Kamis (11/8/2022).
Advertisement
PDB China tumbuh sebesar 4,8 persen pada kuartal pertama dari tahun sebelumnya. Angka itu menandai perlambatan hingga 0,4 persen, ketika lockdown Covid-19 mengganggu rantai pasokan global.
"Fitur dasar ekonomi China yakni potensi penuh, ketahanan besar, vitalitas yang kuat, ruang yang luas untuk manuver dan banyak alat kebijakan tetap tidak berubah," ujar Qin Gang.
Qin Gang juga mengatakan, dirinya memiliki kepercayaan penuh pada masa depan ekonomi China.
"Terlepas dari kompleksitas dan kesulitan ekonomi China di dalam dan luar negeri, kami telah secara efektif mengoordinasikan respons Covid-19 dan pembangunan ekonomi dan sosial, serta menerapkan paket langkah-langkah kebijakan untuk menstabilkan kinerja ekonomi," dia menjelaskan.
Forum Bisnis AS-China kali ini menjadi acara yang diadakan secara langsung untuk pertama kalinya sejak tahun 2019.
Pada tahun 2020 dan 2021, forum tersebut digelar secara online karena pandemi Covid 19 yang belum mereda saat itu.
Melansir CNN Business, ekspor China telah menunjukkan kemajuan pada Juli 2022, meski ekonomi negara itu masih menghadapi beberapa hambatan imbas kebijakan nol-Covid-19.
Ekspor China yang diukur dalam dolar AS naik 18 persen pada Juli 2022.Â
Angka tersebut menandai laju pertumbuhan ekspor tercepat tahun ini, menurut statistik bea cukai China yang dirilis pada Minggu 7 Agustus 2022.
Sebelumnya, pada bulan Juni 2022, ekspor China pun sudah menunjukkan peningkatan hingga 17,9 persen.
Kinerja ekspor yang kuat pada bulan Juli mendorong surplus perdagangan China ke rekor USD 101 miliar atau setara Rp 1,5 kuadriliun untuk bulan tersebut, pertama kalinya melampaui ambang batas USD 100 miliar.
Dampak Covid-19, China Beri Sinyal Pertumbuhan Ekonomi Negaranya Meleset dari Target
China mengisyaratkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi negaranya tidak akan mencapai target 5,5 persen di 2022 ini.
Itu dampak pembatasan ketat untuk meredam wabah baru Covid-19 membebani ekonomi negara itu.
Dilansir dari BBC, Senin (1/8/2022) Politbiro, badan pembuat kebijakan utama Partai Komunis China mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi dalam kisaran yang wajar.
Namun, dalam pernyataan itu, tidak disebutkan target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen seperti yang telah ditetapkan sebelumnya.
Politbiro yang beranggotakan 25 orang, yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping, mengatakan para pemimpinnya akan "berusaha untuk mencapai hasil terbaik".
Badan itu juga menyerukan provinsi-provinsi di China untuk bekerja keras memenuhi masing-masing target pertumbuhan ekonomi mereka.
Menurut analis, kurangnya penyebutan PDB penting, meskipun para ekonom sebelumnya memperkirakan akan sulit bagi China untuk mencapai target 5,5 persen.
"Target pertumbuhan 5,5 persen tidak lagi menjadi keharusan bagi China," kata Iris Pang, kepala ekonom China di ING Bank, kepada kantor berita Wall Street Journal.
Mereka juga menambahkan bahwa China mendesak provinsi yang lebih besar untuk memulihkan ekonomi yang terdampak lockdown.
"Beijing meminta provinsi yang posisinya relatif baik harus berusaha untuk mencapai target ekonomi dan sosial untuk tahun ini," ujar analis Nomura Ting Lu, Jing Wang dan Harrington Zhang dalam sebuah catatan.
"Kami pikir Beijing menyarankan bahwa target pertumbuhan PDB untuk provinsi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, terutama bagi mereka yang terpukul oleh varian Omicron dan lockdown, bisa lebih fleksibel,," tambah mereka.
Advertisement
IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi
China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.
Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara.Â
"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).
"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.
Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.
Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.
Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.
Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.
Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.
"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.
"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.
Ekonomi China Susut di Juni 2022 Imbas Lockdown Covid-19
Ekonomi China mengalami kontraksi tajam pada kuartal kedua tahun ini karena lockdown Covid-19 yang meluas menghantam bisnis dan konsumen.
Dilansir dari BBC, Jumat (15/7/2022) Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022 dari kuartal sebelumnya.
Pada basis year-on-year, ekonomi China tumbuh hanya 0,4 persen di periode April-Juni 2022, kurang dari ekspektasi 1 persen.
"Pertumbuhan PDB kuartal kedua adalah hasil terburuk sejak awal pandemi, karena lockdown, terutama di Shanghai, sangat berdampak pada aktivitas pada awal kuartal," kata Tommy Wu, Ekonom Utama di Oxford Economics.
Angka resmi bulan lalu menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi China menyusul dicabutnya pembatasan.
"Namun, data Juni lebih positif, dengan aktivitas meningkat setelah sebagian besar lockdown dicabut. Tetapi penurunan real estat terus menyeret pertumbuhan," tambah Tommy Wu.
Sementara itu, Jeff Halley, analis pasar senior untuk Asia Pasifik di platform perdagangan Oanda, mengatakanbahwa dia juga melihat beberapa titik terang dalam data ekonomi hari ini dari China.
"PDB lebih buruk dari yang diharapkan, namun pengangguran turun menjadi 3,5 persen dan penjualan ritel mengungguli secara mengesankan," ungkap Halley.
"Pasar keuangan cenderung berkonsentrasi pada angka ritel, yang tampaknya menunjukkan konsumen China dalam kondisi yang lebih baik dari yang diharapkan," jelasnya. Â
Advertisement