Liputan6.com, Jakarta Dalam buku II Nota Keuangan Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023, Pemerintah menargetkan proyeksi penerimaan dari cukai mencapai Rp 245,45 triliun atau naik 9,5 persen dari outlook tahun 2022 yang diperkirakan sebesar Rp 224,2 triliun.
Dari angka Rp 245,45 triliun tersebut, Pemerintah menargetkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sekitar Rp 232,6 triliun atau naik 10,8 persen dari tahun 2022 sebesar Rp. 209,9 triliun sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022.
Baca Juga
Menanggapi besaran kenaikan target cukai itu, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, tak yakin target CHT akan terpenuhi.
Advertisement
“Jangankan yang untuk tahun 2023, untuk target tahun 2022 ini saja, kita akan sangat sulit mencapainya," tegas Henry Najoan, Selasa (13/9/2022).
Henry beralasan, situasi ekonomi saat ini dalam kondisi yang tidak stabil, daya beli yang semakin lemah terutama setelah pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), inflasi pada tahun 2022 diperkirakan akan mencapai 6,3 persen-6,7 persen yang menyebabkan daya beli menurun.
"Salah satu fenomena yang terjadi, gap harga antara rokok ilegal dan rokok legal yang terlalu lebar lalu perokok akan migrasi membeli rokok murah yang ilegal dan tergerusnya pangsa pasar rokok legal,” jelasnya.
Henry pun mengingatkan, selain gap harga yang terlalu lebar, industri sebenarnya juga kelimpungan dengan tingginya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau.
Beban Industri
Selama ini, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9% dari harga jual eceran hasil tembakau.
Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut, akan sekitar 76,3 persen - 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual.
"Tetapi dalam praktiknya, pungutan lebih dari itu. Pasalnya, masih ada pungutan pajak tidak langsung dan berbagai kewajiban seperti tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Dan semakin tinggi golongan, semakin tinggi pula pungutan yang harus diserahkan ke negara,” paparnya.
Henry Najoan lantas menjelaskan bagaimana hitung-hitungannya sehingga melebihi angka dari peraturan yang berlaku. Untuk rokok golongan I, Sigaret Kretek Mesin isi 12 batang, dari harga yang dibandrol sebesar Rp 22.875, harga dari produsen Rp. 19.800, dengan tarif cukai per batangnya sebesar Rp. 985, ditambah pajak daerah sebesar Rp 98,5 dan PPN, total yang harus disetorkan oleh pabrikan mencapai 76,3 persen dari penjualan setiap rokok golongan ini.
Sementara, di rokok golongan II, isi 20 batang dengan harga bandrol Rp 20.425, dari produsen Rp 18.000. Dengan tarif cukai per batangnya Rp. 600, cukai yang harus dibayar mencapai 66,7 persen.
"Dengan tambahan pajak daerah dan PPN, angka kisaran pungutannya mencapai 83,6 persen, dari penjualan setiap rokok golongan ini," terangnya.
Advertisement
Ancaman PHK
Henry menegaskan dengan beban seberat itu, pabrikan merasa sudah berada di titik penghabisan.
“Sayangnya, angka-angka tersebut, tak banyak dipahami oleh sebagian pihak yang terus mendesak kepada pemerintah menaikkan tarif cukai," ujarnya.
GAPPRI memperkirakan, kalau tahun 2023, pemerintah menaikkan tarif cukai rata-rata 11,8 persen, akibatnya akan semakin berat dan angka pungutan dari setiap batang rokok akan makin tinggi dan pabrikan akan semakin lemah arus kasnya.
"Dengan kondisi itu, tak terelakkan, jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan menurunnya penyerapan tembakau dan cengkeh dari petani," pungkasnya.