Liputan6.com, Jakarta Setelah melalui beberapa kali pembahasan bersama DPR RI, asumsi dasar ekonomi makro yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam RAPBN 2023, beserta nota keuangannya telah sedikit mengalami penyesuaian, terutama dengan pertimbangan tingginya ketidakpastian terkait dinamika perekonomian global dan konflik geopolitik.
Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di akun Instagram pribadinya, dikutip Kamis (15/9/2022).
Baca Juga
"Dengan adanya kesepakatan penyesuaian tersebut, maka asumsi dasar makro RAPBN 2023 menjadi Pertumbuhan Ekonomi 5,3 persen (tetap) Inflasi : 3,3 persen hingga 3,6 persen. Nilai Tukar Rp14.750/USD hingga Rp14.800/USD, dan Suku Bunga SUN 10 Tahun: 7,9 persen (tetap)," kata Menkeu Sri Mulyani.
Advertisement
Selain itu, telah diputuskan harga Minyak Mentah Indonesia dikisaran USD 90/barrel (tetap), dengan produksi lifting Minyak 660 ribu barrel/hari (tetap), lifting Gas 1.050 ribu hingga 1.100 ribu barrel setara minyak/ hari mempertimbangkan adanya peluang peningkatan.
"Dengan sedikit perubahan dalam asumsi makro tersebut, penerimaan negara juga berpotensi naik sebesar Rp19,4 triliun. Pemerintah mengusulkan kepada @dpr_ri agar kenaikan penerimaan tersebut dimanfaatkan untuk menambah pos belanja negara, yaitu subsidi energi Rp1,3 triliun, cadangan pendidikan Rp3,9 triliun, belanja nonpendidikan Rp11,2 triliun dan TKD Rp3 triliun.
Â
Belanja Negara
Selanjutnya, dengan memanfaatkan tambahan belanja Rp19,4 triliun ini untuk keempat pos belanja yang diusulkan, defisit APBN 2023 tetap dijaga pada nominal Rp598,2 triliun.
Meskipun secara nominal tidak berubah dari RAPBN 2023 yang disampaikan Presiden, namun dalam persentase terhadap PDB menurun dari 2,85 persen ke 2,84 persen.
"Inilah gambaran postur sementara APBN 2023 hasil kesepakatan bersama Panitia Kerja (Panja). Proses ini masih akan melewati beberapa kali pembahasan lagi sebelum nanti disahkan menjadi UU," kata Menkeu.
Namun yang pasti, Menkeu menegaskan, APBN 2023 akan tetap difokuskan sebagai shock absorber untuk gejolak yang mungkin terjadi serta menjadi instrumen untuk mendorong akselerasi transformasi ekonomi, melalui pelaksanaan agenda reformasi struktural dalam rangka peningkatan produktifitas dan fondasi ekonomi yang lebih kuat untuk peningkatan potensi pertumbuhan jangka panjang.
Advertisement
Harga BBM Naik, Subsidi Energi di APBN Tetap Jebol
Pemerintah telah resmi menaikkan harga BBM subsidi jenis Solar, Pertalite dan Pertamax. Namun kenaikan harga BBM tersebut tidak serta merta kompensasi dan subsidi energi pemerintah yang mencapai Rp 502,4 triliun itu sudah cukup.
Sebaliknya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan tetap bengkak menjadi Rp 648 triliun. Angka ini sedikit lebih rendah dari hitungan pemerintah jika harga BBM tidak dinaikkan, yakni Rp 698 triliun.
"Degan kenaikan kemarin, kita perkirakan (subsidi energi) tidak jadi Rp 698 triliun tapi di sekitar Rp 648 triliun sampai Rp 650 triliun," kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam talkshow bertajuk Antisipasi Dampak Kenaikan Harga BBM, Jakarta, Senin (5/9/2022).
Suahasil mengatakan subsidi pemerintah untuk energi masih sangat besar meskipun pemerintah sudah menaikkan harga BBM. Jika konsumsi masyarakat sampai akhir tahun trennya sama, maka APBN harus menyiapkan anggaran tambahan sekitar Rp 147,6 triliun.
Angka ini merupakan tambahan yang harus dialokasikan pemerintah untuk menutupi biaya kompensasi dan subsidi BBM sampai akhir tahun.
"Efeknya ini 4 bulan ke depan sampai Desember. Kita lihat saja sampai akhir tahun, APBN harus alokasikan Rp 650 triliun agar harganya bisa stabil di tingkat masyarakat," kata dia.
Konsumsi Masyarakat Tetap Tinggi
Suahasil memperkirakan konsumsi masyarakat terhadap energi sampai akhir tahun akan tetap tinggi. Penggunaan Pertalite diperkirakan akan tembus 29 juta kiloliter (KL) dari yang sebelumnya hanya 23 juta KL. Konsumsi Solar menjadi 17,4 juta KL dari semula 15 juta KL.
Pemerintah pun akan berkomunikasi dengan DPR untuk menambah anggaran kompensasi dan subsidi energi. Sebab, bila anggaran ini tidak ditambah tahun ini, maka sisa kompensasi dan subsidi yang dikeluarkan tahun ini akan menjadi utang pemerintah kepada Pertamina.
"Untuk antisipasi ini kami akan komunikasikan dengan DPR," kata dia.
Advertisement