Liputan6.com, Denpasar - BV Mehta mengaku tak memakai minyak sawit di rumahnya. Direktur Eksekutif The Solvent Extractor’s Association of India itu baru mengonsumsinya saat makan di restoran, menyantap sajian di hotel atau di menu katering. Sebab, di tiga bidang itu lah ekstrak tanaman Elaeis guineensis tersebut mayoritas digunakan.
Dia mengakui, minyak sawit kurang populer untuk konsumsi rumah tangga di negerinya. Dianggap kalah kelas di banding minyak nabati lain seperti olive oil, misalnya. “Belum dianggap produk premium,” kata dia dalam konferensi pers di ajang Indonesian Palm Oil Conference (IPOC), 4 November 2022.
Baca Juga
Minyak sawit, kata dia, masih dianggap produk murah yang ditujukan buat orang-orang yang tak berpunya. Untuk itu perlu diberikan pemahaman untuk mengubah citra negatifnya,” tambah BV Mehta.
Advertisement
Dan, meskipun keberlanjutan bukan fokus utama untuk negaranya. Konsumen pada akhirnya juga akan mempertanyakan soal itu, dipicu informasi yang mereka terima.
Jose Angel Olivero, Sales Director Lipidos Santiaga SA (LIPSA) berpendapat serupa. Selain Indonesia, produk minyak kelapa sawit jarang ditemukan di rak-rak supermarket di seluruh dunia. Bahkan di Kolombia sekalipun, yang menjadi penghasil CPO nomor wahid di Amerika Latin.
“Ada yang salah dengan industri sawit, kenapa mereka tidak bisa memasarkan produknya?,” kata dia. Apalagi di pasar Eropa. Situasinya lebih pelik.
Merespons Narasi dengan Promosi
Pada 2019, Pemerintah RI mengajukan gugatan melawan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan-kebijakannya yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
Hal itu terkait rencana penghentian pemakaian minyak sawit sebagai bahan bakar hayati di Uni Eropa pada 2030 dalam dokumen Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II). Efeknya dianggap negatif untuk perdagangan sawit di Eropa dan menurunkan citra produk itu di pasar global. Hingga kini, belum ada putusan soal gugatan itu.
Menurut Olivero, wajar kemudian ada dugaan bahwa apa yang dilakukan Uni Eropa adalah bentuk proteksionisme. Dan bukan hal luar biasa jika memang UE melakukannya. “Jangan terkejut jika Eropa mempertahankan produk-produknya seperti Anda melindungi kelapa sawit,” kata dia.
Di pasar biofuel maupun makanan, adalah hal biasa ketika seseorang memilih produk dari negaranya. Misalnya, orang Spanyol berpendapat wine terbaik adalah yang mereka buat. Klaim serupa tapi tak sama berlaku di kalangan warga Prancis dan Italia.
Hingga kini ada banyak sorotan yang diarahkan ke produk sawit Indonesia. Terkait isu kesehatan, di Eropa Selatan menyebar persepsi negatif bahwa palmitic acid atau asam palmitat yang dikandungnya terkait kanker, soal saturasi, kontaminasi 3MCPD/GE, dan Mosh/Moah (mineral oil saturated hydrocarbons) yang bisa menggangu kesehatan.
Sementara di Eropa Utara, keberlanjutan jadi pokok masalah. Isu deforestasi dan ketenagakerjaan mengemuka di sana. Kata Olivero, menghentikan deforestasi adalah cara terbaik untuk menjawab isu deforestasi. Hal lain yang harus dilakukan adalah promosi, meski itu bakal membutuhkan biaya yang tak kecil.
“Saatnya untuk promosi. Jangan anggap ini pengeluaran tapi investasi. Sektor kelapa sawit sendiri bernilai US$ 90 hingga 100 miliar,” tambah dia.
Advertisement
Konsumen yang Harus Diyakinkan
Olivero menyarankan industri sawit untuk berkomunikasi lebih baik serta menggunakan sosok yang terkenal dan mendunia untuk mempromosikannya.
Perlu juga untuk melakukan diversifikasi topik dalam menyampaikan komunikasi. Ia menyinggung soal klaim berulang dari pihak Indonesia yang menyebut sawit paling efisien soal penggunaan lahan dibanding tanaman penghasil minyak nabati lain.
“Jangan membandingkan hasil kelapa sawit dengan tanaman perkebunan lain. Ladang kentang dan jeruk menghasilkan lebih banyak dari sawit dan mereka tak selalu bicara soal itu,” kata dia.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengomunikasikan hal-hal baik soal sawit, termasuk ketersediaannya dan manfaat kesehatan. “Salah satunya sawit mengandung betakaroten lebih banyak daripada wortel.”
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) smemperkenalkan teknologi sederhana untuk produksi minyak makan merah yang masih mempertahankan kandungan senyawa fitonutrien berkadar tinggi meliputi karoten (sebagai pro-vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (sebagai vitamin E), dan squalene.
Dikutip dari laman Kementerian Pertanian, menurut PPKS, minyak makan merah berpotensi digunakan sebagai pangan fungsional salah satunya sebagai bahan pangan untuk antistunting karena selain sebagai sumber lemak (zat gizi dasar) juga mengandung senyawa fitonutrien yang memiliki sifat sebagai antioksidan dan bioaktivitas lainnya.
Oliver mengatakan, yang harus diyakinkan adalah konsumen bukan pihak pemerintah sebuah negara atau Uni eropa. Yakinkan agar mereka mau mengonsumsinya. “Pada akhirnya politisi akan mengikuti apa kata konsumen."