Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, memproyeksikan adanya kenaikan tarif cukai bisa menambah Dana Bagi Hasil (DBH) CHT dari pemerintah pusat kepada daerah.
Menurut dia, kenaikan tarif cukai rokok ini diperkirakan bisa menambah alokasi DBH dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dari sebelumnya Rp 3 triliun menjadi Rp 6 triliun.
"Biasanya itu sekitar Rp 3 triliun dalam 2 tahun terakhir itu akan meningkat kita estimasi akan berada di sekitar Rp 6 triliunan," kata Febrio saat ditemui di Bogor, Sabtu (6/11/2022).
Advertisement
Dia mengatkan, biasanya DBH CHT digunakan untuk membiaya fasilitas kesehatan di daerah. Selain itu, biasanya penggunaan DBH CHT juga untuk meningkatkan produktivitas dari petani.
"Jadi, bibit dan sebagainya menjadi lebih produktif," imbuhnya.
Disisi lain, bahkan pemerintah daerah juga menggunakan anggaran DBH CHT untuk pelatihan kerja. Maka jika ada pekerja dari pabrik rokok kemudian ingin beralih pekerjaan, maka Pemerintah daerah siapkan pelatihan.
"Jadi, program-program itu terus kita pantau dan kita improve, terutama yang memang signifikan terjadi DBH CHT itu akan meningkat cukup signifikan di tahun 2023, kita harapkan itu akan membantu memberikan bantalan yang cukup kuat bagi transisi yang terjadi kalau dibutuhkan di level industrinya," ujarnya.
Adapun adanya kenaikan tarif CHT tersebut, kerap kali membuat tenaga kerja di industri rokok khawatir akan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kendati begitu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjamin tidak akan ada PHK setelah tarif cukai rokok dinaikkan.
"Sudah dihitung, (industri rokok) nggak terancam. Kan ada DBH CHT Rp 6 triliun. Nggak mungkin lah PHK," pungkasnya.
Cukai Rokok Naik 10 Persen, BPKN: Konsumen Teriak, tapi Tetap Beli
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Muhammad Mufti Mubarok menilai, kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen cenderung hanya memberikan shock effect sesaat bagi konsumennya.
Pasalnya, rokok bagi para penggunanya jadi kebutuhan primer yang sulit ditinggalkan. Meskipun pemerintah telah berkali-kali menaikkan cukai rokok plus memberikan himbauan bahaya penggunaannya, kebutuhan akan rokok jadi sesuatu yang cenderung tak bisa ditawar bagi perokok.
"Kami sebenarnya sudah lama (memantau) terkait cukai tembakau ini. Memang ini kan persoalan ketika dinaikan cukainya, konsumen sebenarnya teriak sebentar. Tapi tetap dibeli," kata Mufti kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (4/11/2022).
Mufti lantas membandingkan harga rokok di Singapura, yang nominalnya lebih besar empat kali lipat di Tanah Air. Pemerintah Negeri Singa pun telah meminimalisir pergerakan perokok di tempat umum, tapi konsumennya tetap membeli.
"Kita kan bebas di sini, banyak merek rokok-rokok alternatif. Bahkan ta' liat sekarang banyak orang-orang yang ngelinting dewe, juga sekarang kan rokok elektrik vape mewabah, itu juga dinaikan cukainya," ungkapnya.
"Sebenarnya kenaikan sih biasa, hampir tiap waktu ada. Tapi kan tidak signifikan pengaruh terhadap ekonomi ini," imbuh Mufti.
Kendati begitu, ia menganggap kenaikan cukai rokok bisa berbahaya terhadap arus kas konsumennya, yang cenderung sulit meninggalkan ketergantungannya meskipun harga melonjak.
"Kalau 10 persen memang agak signifikan sedikit terhadap yang mau membeli rokok. Daya konsumsi juga terbebani, karena kelas menengah bawah juga mikir ketika beli rokok. Kalau kelas atas tidak persoalan," ungkapnya.
Mufti lantas meminta agar cukai hasil tembakau tidak dinaikan dalam waktu dekat. Dia mengkhawatirkan kondisi perekonomian global yang hingga 2023 mendatang masih bakal diwarnai awan gelap.
"Artinya ketika resesi kan ada indikasi itu. Indikator makro ekonomi dan lain-lain juga cukup kuat. Kalau semua naik, masyarakat bagaimana? Itu kan soal happiness. Kesenangan orang tidak bisa dihentikan begitu aja," ujarnya.
Advertisement
Terbongkar, 4 Alasan Sri Mulyani Kerek Cukai 10 Persen di 2023 dan 2024
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, mengungkapkan alasan Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 2023 dan 2024 sebesar 10 persen.
Anak buah Sri Mulyani itu menerangkan, alasannya menyangkut 4 hal utama yakni pertama, aspek konsumsi. Dimana konsumsi ini kaitannya dengan kesehatan, jika konsumsi naik maka bisa dikatakan kesehatan masyarakat bisa menurun.
"Setiap kali kita kebijakan cukai rokok ini selalu mem-balance 4 aspek. Aspek pertama, aspek konsumsi yang memiliki kaitannya dengan kesehatan. Kalau konsumsinya makin naik, ada hubungannya dengan kesehatan dan dunia internasional mengakui itu," kata Suahasil Nazara saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jumat (4/11/2022).
Kedua, aspek produksi, yaitu perusahaan rokok yang memproduksi hasil tembakau yang kaitannya dengan tenaga kerja. Pemerintah sangat mengapresiasi pengusaha rokok yang produksinya masih menggunakan tenaga manusia, sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri.
"Apalagi untuk segmen yang kerjanya pakai tangan,sehingga menyerap tenaga kerja kita," ujarnya.
Aspek ketiga adalah penerimaan negara. Aspek terakhir adalah kepatuhan hukum. Menurut dia, pemerintah selalu mencoba menyeimbangkan keempat aspek tersebut saat memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok.
"4 ini selalu kita coba seimbangkan. Setiap kita bicara soal cukai rokok, ini basic filosofi kenaikan cukai rokok. 4 perseptif ini dari sisi ini jaga ketenagakerjaan, pendapatan negara, dan ada DBH nya juga dengan Pemda," ujarnya.
Disisi lain, Pemerintah juga memperhatikan barang kena cukai yang ilegal. Oleh karena itu, diperlukan ada mitigasi atas kebijakan kenaikan tarif cukai tersebut, agar tidak berpotensi rokok ilegal semakin marak.
"Tapi kita perhatikan terus barang kena cukai yang ilegal. Makanya perlu ada mitigasi atas kebijakan yang punya potensi tembakau yang ilegal. Hasil rokok ilegal ini dari produksi dari menggunakan pita cukai . Ada juga pita cukai yang salah kategori. Kandungan tidak sesuai dengan syarat. Jadi ini diamati degan detail," pungkasnya.
Sayangkan Cukai Rokok Naik 10 Persen, Gaprindo: Idealnya 8 Persen
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi, mengatakan pelaku usaha di segmen rokok putih menyayangkan kenaikan cukai rokok sampai dua digit. Mereka berharap kenaikan cukai hanya dikisaran 7-8 persen saja.
"Idealnya kenaikannya 7-8 persen," kata Benny kepada Liputan6.com, Jumat (4/11/2022).
Benny mengungkapkan, sebenarnya pelaku usaha di segmen rokok putih tidak mengharapkan kenaikan tarif cukai rokok 2023. Sebab, situasi ekonomi saat ini dinilai kurang kondusif.
"Kami sebenarnya berharap tidak ada kenaikan cukai karena situasi ekonomi yang kurang kondusif, kalaupun naik kami mengusulkan sekitar angka inflasi atau pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Dia menduga, dengan dinaikkannya tarif cukai rokok akan membuat rokok ilegal semakin marak di pasaran. Hal itu tentunya merugikan pengusaha rokok yang legal. Adapun rokok ilegal merupakan rokok tanpa cukai.
"Kami khawatir kenaikan cukai tinggi memicu maraknya rokok ilegal," imbuhnya.
Disisi lain, pelaku usaha menyebut dampak dari kenaikan tarif cukai ini kurang proporsional karena daya beli masyarakat saat ini melemah lantaran tergerus inflasi.
"Dampaknya cukup berat, karena daya beli masyarakat juga melemah tergerus inflasi. Kenaikan harga biasanya proporsional dengan kenaikan cukainya," ungkap Benny.
Advertisement